Headlines News :
Home » » Islam Cerdas, Memilih Caleg dan Presiden

Islam Cerdas, Memilih Caleg dan Presiden

Written By Unknown on Selasa, 25 Maret 2014 | 02.26


Saudaraku dimanapun berada, semoga kita semua dalam lindungan Allah SWT dan senantiasa bersyukur atas berbagai hidayah, rahmat dan karunia sampai saat ini terus bersyukur Alhamdulilah kepada-Nya, semoga senantiasa dalam keberkahan dan lindungan Allah SWT, amin.

Selawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada penghulu kita Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, para sahabat, dan umat semoga termasuk kita semua menjadi umat kelak mendapatkan syafaat-Ny, amin.

Saudaraku Rahihumullah, akhir-akhir ini kita disibukkan oleh berbagai pemikiran tentang pelaksanaan Pemilihan Legislatif (Pileg) yang akan dilangsung pada 9 April dan Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 9 Juli mendatang. Kali ini berbagai sumber untuk pemiihan tersebut, tentu sebagai umat Islam  harus mempunyai pilihan-pilihan yang didasarkan pada Alquran dan al Hadis Nabi Muhammad SAW agar tidak terjerembab pada kesalahan-kesalahan mendasar sebagai umat Nabi Muhammad SAW.

Oleh karena itu, perlu mengetahui secara dasar dulu tentang  pemimpin lazim disebut Ulil Amri / Amir / Imam / Sulthon / Ro'in. Sebagaimana dapat kita lihat firman Alloh Ta'alaa dalam Al-Qu'an, Surat An-Nisaa', No. Surat: 4, Ayat: 59, yang berbunyi:   "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rosul (Nya), dan Ulil amri orang yang memegang perkara) di antara kamu.

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Alloh (Al-Quran) dan Rosul (Al-Hadits/sunnahnya), jika  benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". (QS. An-Nisaa', No. Surat: 4, Ayat: 59).

Maksud dari  mengembalikan permasalahan kepada Alloh Ta’alaa adalah kembali kepada kitab Al-Qur’an. Dan kembali kepada Rosul adalah mengembalikannya kepada diri Rosululloh ketika beliau masih hidup, dan ketika beliau sudah wafat, maka kepada sunnahnya yaitu Al-Hadits. Mengembalikan kepada Alloh dan Rosul-Nya ini termasuk kewajiban dan konsekuensi iman, bila sikap mengembalikan persoalan pada Alloh dan Rosul-Nya ini hilang, maka hilang pula yang namanya keimanan.

Menurut firman Alloh Ta'alaa di atas yang dikenai hukum harus ta'at kepada Alloh, dan Rosul, Ulil Amri (Amir / Imam / Sulthon) itu ialah orang-orang iman saja, itu pun yang sudah tahu dan paham terhadap ilmu tentangnya, bukan setiap warga negara Indonesia dari latar belakang agama dan kepercayaan serta keyakinan yang berbeda-beda.

Bahwa,  Ulil Amri lahir dari Al-Qur'an, oleh karenanya Ulil Amri yang dimaksud dalam ayat tersebut jelaslah bukan seorang DPR,DPRD Kota/Kabupaten dan DPRD Provinsi, bahkan Presiden, Kepala Negara, seperti yang dimaksud oleh kebanyakan orang. Ulil Amri yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah Imam / Amir / Sulthon, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rosulullohi Shollallohu 'Alaihi Wasallam dalam hadits-hadits shohih, seperti Hadits Bukhori dan Muslim.

Sebagai warga negara beragama Islam secara umum saja, harus mengetahui tentang selain  harus beragama Islam jua empat sifat harus dimiliki oleh para nabi/rasul sebagai pemimpin umatnya, yaitu: (1). Shidq, yaitu kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap dan bertindak di dalam melaksanakan tugasnya. Lawannya adalah bohong. (2). Amanah, yaitu kepercayaan yang menjadikan dia memelihara dan menjaga sebaik-baiknya apa yang diamanahkan kepadanya, baik dari orang-orang yang dipimpinnya, terlebih lagi dari Allah swt. Lawannya adalah khianat. (3) Fathonah, yaitu kecerdasan, cakap, dan handal yang melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul. Lawannya adalah bodoh. (4). Tabligh, yaitu penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambilnya (akuntabilitas dan transparansi). Lawannya adalah menutup-nutupi (kekurangan) dan melindungi (kesalahan).

Di dalam Al-Quran juga dijumpai beberapa ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat pokok yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, diantaranya terdapat dalam surat As-Sajdah (32): 24 dan Al-Anbiyaâ (21): 73. Sifat-sifat dimaksud adalah: (1). Kesabaran dan ketabahan. “Kami jadikan mereka pemimpin ketika mereka sabar/tabah”. Lihat Q. S. As-Sajdah (32): 24. Kesabaran dan ketabahan dijadikan pertimbangan dalam mengangkat seorang pemimpin. Sifat ini merupakan syarat pokok yang harus ada dalam diri seorang pemimpin.

Sedangkan yang lain adalah sifat-sifat yang lahir kemudian akibat adanya sifat (kesabaran) tersebut. (2). Mampu menunjukkan jalan kebahagiaan kepada umatnya sesuai dengan petunjuk Allah swt. Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21): 73, “Mereka memberi petunjuk dengan perintah Kami”. Pemimpin dituntut tidak hanya menunjukkan tetapi mengantar rakyat ke pintu gerbang kebahagiaan. Atau dengan kata lain tidak sekedar mengucapkan dan menganjurkan, tetapi hendaknya mampu mempraktekkan pada diri pribadi kemudian mensosialisasikannya di tengah masyarakat. Pemimpin sejati harus mempunyai kepekaan yang tinggi (sense of crisis), yaitu apabila rakyat menderita dia yang pertama sekali merasakan pedihnya dan apabila rakyat sejahtera cukup dia yang terakhir sekali menikmatinya. (3). Telah membudaya pada diri mereka kebajikan. Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21): 73, “Dan Kami wahyukan kepada mereka (pemimpin) untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan menegakkan sholat serta menunaikan zakat”. Hal ini dapat tercapai (mengantarkan umat kepada kebahagiaan) apabila kebajikan telah mendarah daging dalam diri para pemimpin yang timbul dari keyakinan ilahiyah dan akidah yang mantap tertanam di dalam dada mereka.

Perlu juga mengetahui syarat lain calon pemimpin :

1. Agama Islam, Beriman dan Beramal Shaleh
Calon pemimpin beragama Islam, dan  sudah barang tentu calon pemimpin orang yang beriman, bertaqwa, selalu menjalankan perintah Allah dan rasulnya. Karena ini merupakan jalan kebenaran yang membawa kepada kehidupan yang damai, tentram, dan bahagia dunia maupun akherat. Disamping itu juga harus yang mengamalkan keimanannya itu yaitu dalam bentuk amal soleh.

2. Niat yang Lurus
“Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena urusan dunia yang ingin digapainya atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkannya tersebut”

Karena itu hendaklah menjadi seorang pemimpin hanya karena mencari keridhoan ALLAH saja dan sesungguhnya kepemimpinan atau jabatan adalah tanggung jawab dan beban, bukan kesempatan dan kemuliaan.

3. Laki-Laki
Dalam Al-qur'an surat An nisaa' (4) :34 telah diterangkan bahwa laki laki adalah pemimpin dari kaum wanita.
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri (maksudnya tidak berlaku serong ataupun curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya) ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara “

“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (kepemimpinan) mereka kepada seorang wanita.”(Hadits Riwayat Al-Bukhari dari Hadits Abdur Rahman bin Abi Bakrah dari ayahnya).

4. Tidak Meminta Jabatan
Rasullullah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu,
”Wahai Abdul Rahman bin samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin. Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepada kamu karena permintaan, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

5. Berpegang pada Hukum Allah
Ini salah satu kewajiban utama seorang pemimpin.
Allah berfirman,
”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (al-Maaidah:49).

6. Memutuskan Perkara Dengan Adil
Rasulullah bersabda,
”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang dengannya pada hari kiamat dengan kondisi terikat, entah ia akan diselamatkan oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh kezhalimannya.” (Riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir).

7. Menasehati rakyat
Rasulullah bersabda,
”Tidaklah seorang pemimpin yang memegang urusan kaum Muslimin lalu ia tidak bersungguh-sungguh dan tidak menasehati mereka, kecuali pemimpin itu tidak akan masuk surga bersama mereka (rakyatnya).”

8. Tidak Menerima Hadiah
Seorang rakyat yang memberikan hadiah kepada seorang pemimpin pasti mempunyai maksud tersembunyi, entah ingin mendekati atau mengambil hati.Oleh karena itu, hendaklah seorang pemimpin menolak pemberian hadiah dari rakyatnya. Rasulullah bersabda,
” Pemberian hadiah kepada pemimpin adalah pengkhianatan.” (Riwayat Thabrani).

9. Tegas
ini merupakan sikap seorang pemimpin yang selalu di idam-idamkan oleh rakyatnya. Tegas bukan berarti otoriter, tapi tegas maksudnya adalah yang benar katakan benar dan yang salah katakan salah serta melaksanakan aturan hukum yang sesuai dengan Allah, SWT dan rasulnya.

10. Lemah Lembut
Doa Rasullullah :
"Ya Allah, barangsiapa mengurus satu perkara umatku lalu ia mempersulitnya, maka persulitlah ia, dan barang siapa yang mengurus satu perkara umatku lalu ia berlemah lembut kepada mereka, maka berlemah lembutlah kepadanya"
Selain poin- poin yang ada di atas seorang pemimpin dapat dikatakan baik bila ia memiliki STAF. STAF disini bukanlah staf dari pemimpin, melainkan sifat yang harus dimiliki oleh pemimpin tersebut. STAF yang dimaksud di sini adalah Sidiq(jujur), Tablig(menyampaikan), amanah(dapat dipercaya), fatonah(cerdas)
Sidiq itu berarti jujur.


Namun demikian, menurut Shihab (2002) ada dua hal yang harus dipahami tentang hakikat kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan dalam pandangan Al-Quran bukan sekedar kontrak sosial antara sang pemimpin dengan masyarakatnya, tetapi merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Allah swt. Lihat Q. S. Al-Baqarah (2): 124, “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan (amanat), lalu Ibrahim melaksanakannya dengan baik. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau pemimpin bagi manusia. Ibrahim bertanya: Dan dari keturunanku juga (dijadikan pemimpin)? Allah swt menjawab: Janji (amanat)Ku ini tidak (berhak) diperoleh orang zalim”.

Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah swt, bukan sesuatu yang diminta apalagi dikejar dan diperebutkan. Sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani rakyat. Semakin tinggi kekuasaan seseorang, hendaknya semakin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri, bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan upah seorang pemimpin sesungguhnya hanya dari Allah swt di akhirat kelak, bukan kekayaan dan kemewahan di dunia.

Karena itu pula, ketika sahabat Nabi SAW, Abu Dzarr, meminta suatu jabatan, Nabi saw bersabda: “Kamu lemah, dan ini adalah amanah sekaligus dapat menjadi sebab kenistaan dan penyesalan di hari kemudian (bila disia-siakan)”.(H. R. Muslim). Sikap yang sama juga ditunjukkan Nabi saw ketika seseorang meminta jabatan kepada beliau, dimana orang itu berkata: “Ya Rasulullah, berilah kepada kami jabatan pada salah satu bagian yang diberikan Allah kepadamu. “Maka jawab Rasulullah saw: “Demi Allah Kami tidak mengangkat seseorang pada suatu jabatan kepada orang yang menginginkan atau ambisi pada jabatan itu”.(H. R. Bukhari Muslim).

Kedua, kepemimpinan menuntut keadilan. Keadilan adalah lawan dari penganiayaan, penindasan dan pilih kasih. Keadilan harus dirasakan oleh semua pihak dan golongan. Diantara bentuknya adalah dengan mengambil keputusan yang adil antara dua pihak yang berselisih, mengurus dan melayani semua lapisan masyarakat tanpa memandang agama, etnis, budaya, dan latar belakang. Lihat Q. S. Shad (38): 22, “Wahai Daud, Kami telah menjadikan kamu khalifah di bumi, maka berilah putusan antara manusia dengan hak (adil) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu”.

Hal senada dikemukakan oleh Hafidhuddin (2003). Menurutnya ada dua pengertian pemimpin menurut Islam yang harus dipahami. Pertama, pemimpin berarti umara yang sering disebut juga dengan ulul amri. Lihat Q. S. An-Nisaâ 4): 5, “Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu”. Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa ulil amri, umara atau penguasa adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan orang lain. Dengan kata lain, pemimpin itu adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan rakyat. Jika ada pemimpin yang tidak mau mengurus kepentingan rakyat, maka ia bukanlah pemimpin (yang sesungguhnya).

Kedua, pemimpin sering juga disebut khadimul ummah (pelayan umat). Menurut istilah itu, seorang pemimpin harus menempatkan diri pada posisi sebagai pelayan masyarakat, bukan minta dilayani. Dengan demikian, hakikat pemimpin sejati adalah seorang pemimpin yang sanggup dan bersedia menjalankan amanat Allah swt untuk mengurus dan melayani umat/masyarakat.

Hakikat kepemimpinan di dalam Islam serta kriteria dan sifat-sifat apa saja yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, maka kita wajib untuk memilih pemimpin sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadits.Kaum muslimin yang benar-benar beriman kepada Allah dan beriman kepada Rasulullah saw dilarang keras untuk memilih pemimpin yang tidak memiliki kepedulian dengan urusan-urusan agama (akidahnya lemah) atau seseorang yang menjadikan agama sebagai bahan permainan/kepentingan tertentu. Sebab pertanggungjawaban atas pengangkatan seseorang pemimpin akan dikembalikan kepada siapa yang mengangkatnya (masyarakat tersebut). Dengan kata lain masyarakat harus selektif dalam memilih pemimpin dan hasil pilihan mereka adalah “cerminâ” siapa mereka. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw yang berbunyi: “Sebagaimana keadaan kalian, demikian terangkat pemimpin kalian”.


Sikap seseorang sebagai pemimpin terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah, yaitu masyarakat. Karena yang memilih pemimpin adalah masyarakat. Konsekwensinya masyarakat harus mentaati pemimpin mereka, mencintai, menyenangi, atau sekurangnya tidak membenci. Sabda Rasulullah saw: “Barang siapa yang mengimami (memimpin) sekelompok manusia (walau) dalam sholat, sedangkan mereka tidak menyenanginya, maka sholatnya tidak melampaui kedua telinganya (tidak diterima Allah)”.

Di lain pihak pemimpin dituntut untuk memahami kehendak dan memperhatikan penderitaan rakyat. Sebab dalam sejarahnya para rasul tidak diutus kecuali yang mampu memahami bahasa (kehendak) kaumnya serta mengerti (kesusahan) mereka. Lihat Q. S. Ibrahim (14): 4, “Kami tidak pernah mengutus seorang Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya”. dan Q. S. At-Taubah (9): 129, “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, terasa berat baginya penderitaanmu lagi sangat mengharapkan kebaikan bagi kamu, sangat penyantun dan penyayang kepada kaum mukmin.

Demikianlah Al-Quran dan Hadits menekankan bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi pemimpin. Sebab memilih pemimpin dengan baik dan benar adalah sama pentingnya dengan menjadi pemimpin yang baik dan benar.Sebagaimana  Allah SWT telah menjelaskan kepada kita bagaimana pemimpin yang baik itu, melalui beberapa contoh kepemimpinan yang Allah ketengahkan dalam kitab-Nya, Al-Qur’an.

Diantara sosok yang disebutkan dalam Al-Qur’an adalah Musa as. Dalam QS Al-Qashash: 26, Allah SWT berfirman: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Wahai bapakku, ambillah ia (Musa) sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat (al-qawiyy) lagi dapat dipercaya (al-amin)".

Dalam ayat tersebut, Musa as disifati memiliki dua sifat yaitu al-qawiyy (kuat) dan al-amin (bisa dipercaya). Inilah dua sifat yang harus dimiliki oleh seseorang  yang “bekerja untuk negara”. Dua sifat tersebut adalah al-quwwah yang bermakna kapabilitas, kemampuan, kecakapan, dan al-amanah yang bermakna integritas, kredibilitas, moralitas.

Sosok pemimpin lainnya yang disebutkan oleh Al-Qur’an adalah Yusuf as. Dalam QS Yusuf: 55, Allah SWT mengabadikan perkataan Yusuf as kepada Raja Mesir: “Yusuf berkata: ‘Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan".

Dari ayat diatas, kita mengetahui bahwa Yusuf as itu hafiizh (bisa menjaga) dan ‘alim (pintar, pandai). Inilah dua sifat yang harus dimiliki oleh seseorang yang “bekerja untuk negara”. Dua sifat tersebut adalah al-hifzh yang tidak lain berarti integritas, kredibiltas, moralitas, dan al-‘ilm yang tidak lain merupakan sebentuk kapabilitas, kemampuan, dan kecakapan.

Jadi kesimpulannya, kriteria pemimpin yang baik menurut Al-Qur’an adalah yang kredibel dan juga kapabel. Dua-duanya harus ada pada diri seorang pemimpin, bukan hanya salah satunya. Jika seorang pemimpin hanya kredibel tapi tidak kapabel, maka urusan akan berantakan karena diserahkan pada yang bukan ahlinya. Rasulullah saw bersabda, “Jika urusan diserahkan pada yang bukan ahlinya, tunggulah kehancurannya”. Sebaliknya, jika seorang pemimpin hanya kapabel tapi tidak kredibel, maka dia justru akan ‘minteri’ rakyat, menipu rakyat, menjadi maling dan perampas hak-hak rakyatnya, dan tidak bisa dijadikan sebagai contoh dan teladan. Dan jika para pemimpinnya bermoral rendah, bagaimana dengan rakyatnya?

Pemimpin UUD dan GBHN

Untuk saat ini kita sekarang akan memilih Caleg dan Presiden,  selaku Kepala Negara yang jelas-jelas acuan peraturan yang dipakai untuk memerintah rakyatnya adalah UUD '45 dengan amandemennya, GBHN, dan acuan hukumnya yang dipakai adalah KUHP atau hukum positif. Maka, sangat tidak mungkin Presiden adalah Amir atau Imam. Jika masih ada muslim atau mukmin yang mempunyai penafsiran atau pemahaman bahwa Imam adalah Presiden itulah yang dimaksud oleh Al-Qur'an dan Al-Hadits. Maka, ini adalah penafsiran dan pemahaman yang tidak benar.

Dari amanat UUD '45 tercermin bahwa setiap warga Negara Indonesia memliki hak dan kewajiban yang sama, baik laki-laki maupun perempuan. Maka dari itu, siapapun dari warga Negara Indonesia setelah Presiden SOEKARNO, setelah Presiden SOEHARTO, setelah Presiden B.J. HABIBI, dan H. ABDURRAHMAN WAHID" yang ke sohor dengan sapaan akrab "Gus DUR" pernah juga menjadi Presiden RI, termasuk seorang perempuan  pertama Ibu Mega "MEGAWATI SOEKARNO PUTRI" menjadi  Presiden RI,  dan SUSILO BAMBANG  YUDHOYONO  (SBY) akan berakhir tahun 20014. Kriteria semua umat beragama  baik orang Nasrani maupun Yahudi sangat berpeluang untuk menjadi Presiden RI asalkan dipilih oleh rakyat melalui PEMILU yang LUBER dan JURDIL.

Karena itu, bagi mereka yang ternyata menang dalam pemilu dan menjadi Presiden RI, hendaknya tidak lagi hanya terpaku untuk kepentingan partainya atau golangannya, melainkan sudah harus menanggalkan kepentingan partai dan golongannya, sebagai wujud keseriusan untuk melayani  dan mengurusi demi kepentingan dan kemakmuran rakyatnya.

Jika itu terus berlanjut seperti saat ini, Presiden masih terus mengurusi partainya,   golongan, maka akan menghasilkan pemimpin yang tidak maksimal untuk mengurusi rakyatnya.

Oleh karena itui, perlu kembali dikaji lagi tentang pemahaman pemilihan umum, agar mereka terpilih menjadi dewan  dan presiden adalah kader bangsa terbaik Jangan seperti sekarang ini, mereka terpilih adalah kader partai sehingga dokma partai lebih kental dibanding kepada amanah disandangnya untuk rakyat, bangsa dan negara.


Untuk Presiden, Kepala Negara di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini lahir bukan dari agama Islam; Al-Qur'an dan Al-Hadits, tapi terlahir dari UUD '45 BAB III, tentang KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA, Pasal 6, ayat 1 dan 2, yang berbunyi:

(1) Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani, untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
(2) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

Menurut Pasal 6, ayat 1, bahwa siapa saja, dari agama apa pun bisa menjadi Presiden asal memenuhi persyaratan UUD '45, bukan berdasarkan syari'at agama Islam. Kalau yang dimaksud oleh kebanyakan orang, bahwa yang sah sebagai Ulil Amri atau Amir adalah Presiden "SBY" dan atau seperti yang dimaksud dalam Pasal 6, ayat 1 tersebut, maka jelas-jelas mereka ini telah membohongi umat Islam, dan telah melakukan tindakan jahiliyah. Sebab mereka tidak dapat membedakan antara urusan politik (dunia) dan agama (akhirot), sedang kata Rosululloh saja "Kalau urusan akhirot, maka akulah yang paling pandai, tapi kalau urusan dunia, kalianlah yang paling pandai".

Kita tahu bahwa Umaro' (para Amir), istilah ini sangat Islami sekali, karena dasarnya dari hadits, tapi apabila mereka ini memerintah kamu tidak memakai dasar atau dalil yang kamu ketahui dari Al-Qur'an dan Al-Hadits, maka mereka tidak berhak menjadi imam kamu. Di dalam Hadits Thobroni Fil Kabir dari Ubadah bin Shomit, Rosulullohi Shollallohu 'Alaihi Wasallam, bersabda: artinya: "Sesudahku akan ada Umaro' (para Amir) yang memerintah kamu sekalian dengan sesuatu yang kamu sekalian tidak mengetahui dalilnya, dan mereka mengerjakan sesuatu yang kamu sekalian mengingkarinya, maka mereka itu tidak berhak menjadi imam kamu sekalian".


Kesemua Perhelatan bernama Pemilihan Umum baik Legislatif dan Presiden merupakan bagian dari demokrasi yang notabene adalah kombinasi antara aturan Islam dan Dunia. Dengan demikian, mereka terpilih sebagai Legislatif atasnama rakyat seharusnya menanggalkan atribut kepartaian saat duduk di anggota dewan sehingga pada aspirasinya kepada rakyat murni rakyat diutamakan, tidak sebagaimana selama ini tergamar mereka (dewan-red) wakil dari partai, maka keterwakilan rakyat masih tergadaikan dengan partai yang menjadikan dewan itu duduk di DPR tersebut.

Hal ini juga tergambar Presiden terpilih seharusnya menanggal semua atribut partai dan golongan, mereka ini adalah kader bangsa yang hanya mengurusi rakyat tidak lagi pikiran terpecah-pecah antara memikirkan rakyat dan partainya.

Oleh karena itu, perlu kembali Undang-Undang Pemilu dikaji ulang lebih-lebih mereka terpilih dan  duduk di dewan dan menjadi Presiden adalan kader bangsa terbaik dan sudah harus menanggalkan segala urusan  partai, apalagi sekarang sebagai acuan celon pemimpin didasarkan pada  survey elektabilitas.

Intinya, perlu dilakukan pengkajian, mereka yang duduk di dewan dan presiden adalah bukan lagi atasnama partai tapi kader bangsa terbaik. Mereka saat duduk harus benar-benar lepas partai untuk konsen  mengurusi kepentingan rakyat diatas segala-galanya.

Jadi saat duduk di dewan dan atau menjadi  presiden adalah kader bangsa  yang hanya mengurusi rakyat, agar program pembangunan terus keberlanjutan demi kesejahteraan rakyat Indonesia. Tugas utama partai adalah mengantarkan kader partai menjadi kader bangsa untuk menjadi pemimpin, bangsa, negara dan mensejahterakan rakyatnya,  semoga bisa...
 

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Semoga bermanfaat
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Template | Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Dakwah DKM MASJID AT' TAQWA - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Zack Template