Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum Wr.Wb.
Segala pujian-pujian hanya wajib dan
untuk Allah Azza Wazzala, sebab Allah SWT senantiasa memberikan berbagai
anugrah nikmat, berkah dan karunia tak terhitung sejak kita lahir hingga sekarang
tak bisa menghitung saking banyak. Sebagai bentuk syukur adalah beribadah
kepada-Nya dan terus untuk ditingkatkan ibadah-ibadah lainnya, amin.
Selawat serta salam semoga terimpah
curahkan kepada baginda alam Nabi Muhammad SAW atas suritauladan, bagi
keluarga, sahabat, umat dan semoga termasuk umat senantiasa dalam istiqomah
serta nantinya mendapatkan syafaat-Nya, amin.
Berbicara soal manusia, ruh dan jasad, sudah barang Allah Swt menciptakan dan menundukkan keduanya
secara keseluruhan, baik ketika di mahsyar, diberi pahala maupun disiksa. Ruh
adalah makhluk. Beberapa hadits mengidentifikasikan bahwa ruh adalah materi
yang lembut. Bagi sementara pihak yang berkata bahwa ruh adalah qadim,
merupakan kekeliruan besar.
Ahli hakikat dari kalangan ahli sunnah berbeda pandangan soal ruh.
Ada yang berpendapat, ruh adalah kehidupan, yang lain berpandangan ruh adalah
kenyataan yang ada dalam hati, yang bernuansa lembut. Allah Swt menjalankan
kebiasaan makhluk dengan mencipta kehidupan dalam hati, sepanjang arwahnya
menempel di badan. Manusia hidup dengan sifat kehidupan, tetapi arwah selalu di
cetak di dalam hati dan bisa naik ketika tidur dan terpisah dengan badan,
kemudian kembali kepada-Nya.[1]
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian al-Ruh
Menurut Ibnu Zakariya (w. 395 H / 1004 M) menjelaskan bahwa kata
al-ruh dan semua kata yang memiliki kata aslinya terdiri dari huruf ra, wawu,
ha; mempunyai arti dasar besar, luas dan asli. Makna itu mengisyaratkan bahwa
al-ruh merupakan sesuatu yang agung, besar dan mulia, baik nilai maupun
kedudukannya dalam diri manusia.[2]
Al-Raqib al-Asfahaniy (w. 503 H / 1108 M), menyatakan di antara
makna al-Ruh adalah al-Nafs (jiwa manusia). Makna disini adalah dalam arti
aspek atau dimensi, yaitu bahwa sebagian aspek atau dimensi jiwa manusia adalah
al-ruh.[3]
Nyawa (ruh) menurut al-Ghazali mengandung dua pengertian, pertama
: tubuh halus (jisim lathif). Sumbernya itu lubang hati yang bertubuh. Lalu bertebar
dengan perantaraan urat-urat yang memanjang ke segala bagian tubuh yang lain.
Mengalirnya dalam tubuh, membanjirnya cahaya hidup, perasaan, penglihatan,
pendengaran, dan penciuman dari padanya kepada anggota-anggotanya itu,
menyerupai membanjirnya cahaya dari lampu yang berkeliling pada sudut-sudut
rumah. Sesungguhnya cahaya itu tidak sampai kepada sebagian dari rumah,
melainkan terus disinarinya dan hidup itu adalah seperti cahaya yang kena pada
dinding. Dan nyawa itu adalah seperti lampu. Berjalannya nyawa dan bergeraknya
pada batin adalah seperti bergeraknya lampu pada sudut-sudut rumah, dengan
digerakkan oleh penggeraknya.
Pengertian kedua yaitu yang halus dari manusia, yang mengetahui
dan yang merasa. Dan itulah tentang salah satu pengertian hati, serta itulah
yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala dengan firman-Nya:
قُلِ الرُّوْحُ مِنْ
اَمْرِ رَبِّى {الإسراء : 85}
“Jawablah! Nyawa (ruh) itu
termasuk urusan Tuhanku” (QS. Al-Isra’ : 85)
Dan itu adalah urusan ketuhanan yang menakjubkan, yang melemahkan
kebanyakan akal dan paham dari pada mengetahui hakikatnya.[4]
Dengan adanya al-ruh dalam diri manusia menyebabkan manusia
menjadi makhluk yang istimewa, unik, dan mulia.
Inilah yang disebut sebagai khayalan akhar, yaitu makhluk yang
istimewa yang berbeda dengan makhluk lainnya. Al-Qur’an menjelaskan hal ini
dalam QS. Al-Mu’minun : 14.[5] Kata al-Ruh disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak
24 kali, masing-masing terdapat dalam 19 surat yang tersebar dalam 21 ayat.
Dalam 3 ayat kata al-ruh berarti pertolongan atau rahmat Allah, dalam 11 ayat
yang berarti Jibril, dalam 1 ayat bermakna wahyu atau al-Qur’an, dalam 5 ayat
lain al-ruh berhubungan dengan aspek atau dimensi psikis manusia.[6]
B. Karakteristik al-Ruh
Mengenai ruh ada beberapa karakteristik, antara lain :
1. Ruh berasal dari Tuhan, dan bukan berasal dari tanah / bumi
2. Ruh adalah unik, tak sama dengan akal budi, jasmani dan jiwa
manusia. Ruh yang berasal dari Allah itu merupakan sarana pokok untuk munajat
kehadirat-Nya
3. Ruh tetap hidup sekalipun kita tidur / tak sadar
4. Ruh dapat menjadi kotor dengan dosa dan noda, tapi dapat pula
dibersihkan dan menjadi suci.
5. Ruh karena sangat lembut dan halusnya mengambil “wujud” serupa
“wadah”-nya, parallel dengan zat cair, gas dan cahaya yang “bentuk”-nya serupa
tempat ia berada.
6. Tasawuf mengikutsertakan ruh kita beribadah kepada Tuhan
7. Tasawuf melatih untuk menyebut kalimat Allah tidak saja sampai
pada taraf kesadaran lahiriah, tapi juga tembus ke dalam alam rohaniah. Kalimat
Allah yang termuat dalam ruh itu pada gilirannya dapat membawa ruh itu sendiri
ke alam ketuhanan.[7]
C. Al-Ruh sebagai Dimensi Spiritual Psikis Manusia
Dimensi dimaksudkan adalah sisi psikis yang memiliki kadar dan
nilai tertentu dalam sistem “organisasi” jiwa manusia. Dimensi spiritual
dimaksudkan adalah sisi jiwa yang memiliki sifat-sifat Ilahiyah (ketuhanan) dan
memiliki daya untuk menarik dan mendorong dimensi-dimensi lainnya untuk
mewujudkan sifat-sifat Tuhan dalam dirinya. Pemilihan sifat-sifat Tuhan
bermakna memiliki potensi-potensi lahir batin. Potensi-potensi itu melekat pada
dimensi-dimensi psikis manusia dan memerlukan aktualisasi.
Dimensi psikis manusia yang bersumber secara langsung dari Tuhan
ini adalah dimensi al-ruh. Dimensi al-ruh ini membawa sifat-sifat dan daya-daya
yang dimiliki oleh sumbernya, yaitu Allah. Perwujudan dari sifat-sifat dan
daya-daya itu pada gilirannya memberikan potensi secara internal di dalam
dirinya untuk menjadi khalifah Allah, atau wakil Allah. Khalifah Allah dapat
berarti mewujudkan sifat-sifat Allah secara nyata dalam kehidupannya di bumi
untuk mengelola dan memanfaatkan bumi Allah. Tegasnya bahwa dimensi al-ruh
merupakan daya potensialitas internal dalam diri manusia yang akan mewujud
secara aktual sebagai khalifah Allah.[8]
Dalam al-Qur’an dijelaskan kata al-ruh berhubungan dengan aspek
atau dimensi psikis manusia. Berikut dijelaskan bahwa Allah “meniup”-kan
ruh-Nya ke dalam jiwa dan jasad manusia. Sebagaimana yang terdapat dalam ayat
berikut ini :
فَإِذَا سَوَّيْتُهُ
وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِي فَقَعُواْ لَهُ سَاجِدِينَ {الحجر : 29}
“Maka apabila Aku telah
menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku,
maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”. (QS. Al-Hijr : 29)
Berdasarkan ayat di atas, kata ruh dihubungkan dengan Allah.
Istilah yang digunakan untuk menyatakan hubungan itu juga beragam, seperti
al-ruh minhu ruhina, ruhihi, al-ruhiy, ruh min amri rabbi. Selanjutnya, ruh
Allah itu diciptakan kepada manusia melalui proses al-nafakh. Berbeda dengan
al-nafs, sebab nafs telah ada sejak nutfan dalam proses konsepsi, sedangkan ruh
baru diciptakan setelah nutfah mencapai kondisi istimewa. Karena itu merupakan
dimensi jiwa yang khusus bagi manusia.[9]
Menurut psikologi transpersonal, ada dua hal penting dalam diri
manusia, yaitu potensi-potensi luhur batin manusia (human highest potentials)
dan fenomena kesadaran manusia (human states of consciousness). Yang menjadi
perhatian bagi psikologi transpersonal yaitu dalam wilayah aspek ruhaniah.
Telaahnya berbeda dengan psikologi humanistic, bahwa psikologi
humanistic lebih menekankan pada pemanfaatan potensi-potensi luhur manusia
untuk meningkatkan kualitas hubungan antar manusia. Sedangkan psikologi
transpersonal menekankan pada pengalaman subjektif spiritual
transcendental.[10]
Tasawuf Islam mengajarkan metode dan teknik-teknik munajat dan
shalat khusyuk guna meningkatkan derajat ruh mencapai taraf al-nafs
al-muthmainnah / lebih tinggi lagi. Sehingga diharapkan manusia dapat mengembangkan
diri mencapai kualitas insan kamil.
Adapun ruh diciptakan jauh sebelum manusia dilahirkan, berfungsi
semasa hidup dan setelah meninggal ruh akan pindah ke alam baqa untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya ke dalam hadirat Ilahi. Jadi ruh itu ada
dalam diri manusia, tapi tak kasat mat (invisible) karena sangat halus, gaib
serta dimensinya yang jauh lebih tinggi dari alam pikiran, serta tahapannya pun
di atas alam sadar. Ruh dengan demikian merupakan salah satu dimensi yang ada
pada manusia di samping dimensi ragawi dan dimensi kejiwaan, yang ada sebelum
dan sesudah masa kehidupan manusia.[11]
D. Hiasan Bagi Ruh
Ruh (roh atau jiwa) juga menunjukkan kelembutan Ilahi, dan seperti
halnya si “hati”, ia juga berada di dalam hati badaniah. Roh dimasukkan ke
dalam tubuh melalui “saringan yang halus”. Pengaruhnya terhadap tubuh ialah
seperti lilin di dalam kamar, tanpa meninggalkan tempatnya, cahayanya
memancarkan sinar kehidupan bagi seluruh tubuh.
Pada dasarnya roh merupakan lathifah dan oleh karenanya ia
merupakan suatu unsur Ilahi. Sebagai sesuatu yang halus, ia merupakan
kelengkapan pengetahuan yang tertinggi dari manusia yang bertanggung jawab
terhadap sinar dari penglihatan yang murni, apabila manusia bebas seluruhnya
dari kesadaran fenomenal.[12]
Tingkat perkembangan ruh yang sempurna dihiasi dengan sifat-sifat
ketuhanan dan berhak menjadi wakil Allah. Salah satu aliran berpendapat bahwa
nafs harus dibersihkan agar ruh dapat dihiasi. Beberapa aliran yang lain
beranggapan bahwa jika ruh tidak dihias maka nafs tidak dapat dibersihkan.
Pandangan lain adalah bahwa sekalipun seseorang menghabiskan
seluruh hidupnya untuk berjuang membersihkan nafs, nafs tersebut masih belum
bisa dibersihkan seluruhnya dan dia bahkan mungkin tidak memiliki kesempatan
untuk bekerja dengan ruh. Namun jika seseorang bisa menempatkan nafs tetap
berada dalam etika thariqat, yang memusatkan perhatian pada pembersihan hati
dan menghias ruh, maka kemuliaan ketuhanan akan muncul silih berganti melalui
pengaruh daya tarik kemurahan dan kemuliaan Allah.[13]
Cinta adalah daya tarik ketuhanan, apabila menemukan jalannya ke
dalam hati, dia akan membakar akar wujud seseorang, dan menyatukannya dengan
wujud mutlak. Hati adalah wilayah persimpangan antara kesatuan dan keragaman.
Ketika hati dimurnikan dari segala karat keragaman, matahari cinta akan terbit
dan memancarkan sinar kesatuan. Cinta adalah ramuan wujud. Orang harus
mematikan diri agar dapat meraih harta karun kehidupan abadi.[14]
III. KESIMPULAN
Al-ruh merupakan dimensi jiwa manusia yang sifatnya spiritual dan
potensi yang berasal dari Allsah SWT.
Dimensi ini menyebabkan manusia memiliki sifat Ilahiyah (sifat
ketuhanan) dan mendorong manusia untuk mewujudkan sifat Allah itu dalam kehidupannya di dunia.
Di sinilah fungsinya sebagai khalifah dapat teraktualisasikan.
Dengan ini, maka manusia menjadi makhluk yang semi samawi-ardi, yaitu makhluk
yang memiliki unsur-unsur alam dan potensi-potensi ketuhanan.
Wassalamualaikum Wr.
Wb.
Semoga Bermanfaat
Sangat bermanfaat sekali ilmunya. Terimakasih.
BalasHapusMempertajam analisa pengetahuan tentang ketuhanan, ditunggu lagi bahasan selajutnya, tks.
BalasHapus