Belum reda kemarahan kaum Muslim sedunia atas film “the Innocence of Muslims”, yang
akhirnya ditinggal sembunyi oleh sutradara dan sang penulis orang
Yahudi, tiba-tiba kasus penghinaan Nabi Shallallahu ‘ahaihi Wassalam
kembali terjadi dengan terbitnya kartun Nabi di Majalah “Chalie Hebdo”
dengan maksud yang sama di Prancis tahun lalu. Sampai saat ini protes
demi protes terus menggelombang dan dapat diprediksi kemarahan umat
tidak akan cepat mereda.
Fenomena penghinaan-penghinaan terhadap Islam dan Nabi Muhammad,
sebagai sosok paling dimuliakan kaum Muslim ini mengingatkan kita kepada
salah satu episode dari sirah Nabi kita tercinta, yaitu ketika panggung
jahiliyah menampilkan latar Darun-Nadwah, sebuah balai pertemuan para
tokoh Quraisy.
Pada saat itu suasana batin para tokoh Quraisy diliputi keputusaan
setelah berbagai hal yang dilakukan untuk memerangi “agama baru” yang
dibawa Muhammad menemui kegagalan. Malah kelompok orang beriman semakin
banyak dan semakin kuat.
Di altar keputusaasaan itu, mereka mulai meninggalkan arena luhur
pertempuran gagasan yang selama ini mereka geluti dan beralih ke
strategi murahan; sebuah stigma negatif. Maka diputuskanlah stigma
terhadap Muhammad sebagai seorang penyihir yang keahliannya menyihir
dengan kata-kata, sebagaimana hari ini manusia mulia tersebut juga
distigmakan kalangan Barat melalui produk budaya mereka bernama media,
sebagai tokoh maniak seks dan haus darah.
Stigma ini menjadi senjata terakhir kaum Quraisy untuk membentuk
perspektif publik tentang bahaya dakwah Muhammad. Langkah ini,
sebenarnya sekaligus menandakan berakhirnya intelektualitas dan
peradaban kaum Quraisy.
Mereka yang sebelumnya menentang dakwah Muhammad lewat pertempuran
gagasan, misalnya mempertanyakan hari akhir, menggungat doktrin
ke-esa-an Allah dan mencoba menandingi ayat Qur’an, kini meninggalkan
itu semua dan menggunakan bahasa cemoohan yang nyaris nihil dari
aktivitas intelektual.
Sejarah menunjukkan hal tersebut berlanjut ketika musuh Islam
bergesar dari Jazirah Arab ke benua Barat. Peradaban Barat-Kristen gagal
menentang Islam secara intelektual dan beralih ke bahasa senjata dan
tak lupa pula stigma.
Umat Islam divonis sebagai saracen, kaum sesat dan Ahlu Bid’ah.
Namun seiring stigma itu, posisi Islam justru makin menguat di seluruh
dunia. Mundurnya musuh Islam secara intelektualitas sama halnya
menangnya Islam secara intelektual dan peradaban.
Kekosongan umat manusia dari intelektualitas menjadi jawaban dakwah
Islam ; segera setelah stigma Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam
disebar, bangsa Arab menyadari murahnya upaya Quraisy ini sehingga kaum
Aus dan Khazraj memutuskan menerima dakwah Nabi.
Sama pula fenomena ini dengan yang terjadi di Barat setelah lebih
dari 1400 tahun. Segera setelah julukan saracen dilekatkan ke tubuh umat
Islam, bangsa-bangsa Asia Barat dan Eropa Timur justru
berbondong-bondong memeluk Islam lantaran melihat keadilan dalam Islam,
jauhnya Islam dari babarisme dan menyaksikan intelektualitas murni
berdasar akidah rasional yang jauh dari gambaran saracen. Mereka
berpaling dari paganisme dan Kristen akibat ulah dari
propagandis-propagandis mereka sendiri, yang sebenarnya menggambarkan
intelektual murahan.
Ghazwu al Fikr, bukan Stigma
Hari-hari ke depan, nampaknya yang akan kita saksiwan tidaklah jauh
berbeda. Kita tahu, bahwa di awal abad lalu, tidak semua orientalis
bersusah payah menyusun argumentasi untuk menghancurkan pemikiran Islam.
Ada yang cukup dengan mengatakan bahwa Muhammad terkena ayan, selesai
perkara. Pada tahun 2005, PM Inggris Tony Blair dengan lantang menyebut
Islam sebagai “ideologi setan”, setelah ia tidak pernah menyambut ajakan
untuk debat secara intelektual. Opini global terorisme dan rentetan
kasus penghinaan Nabi barangkali adalah upaya terakhir mereka memerangi
Islam bersenjatakan stigma-stigma yang juga tak kalah ada hasilnya.
Dengan upaya stigmatisasi ini, yang berarti ditinggalkannya
intelektualitas, sadar atau tidak sadar mereka telah menghancurkan upaya
mereka sendiri di awal abad yang lalu ketika mereka melakukan
infiltrasi pemikiran ke tubuh umat Islam lewat ghazwu al Fikr (prang pemikiran), dan bukan stigma.
Ketika itu para propagandis terbantu oleh para misionaris dan bahkan
putera-putera umat sendiri yang menyusun ulang pemikiran Islam lewat
perspektif ideologi Barat. Barat sudah bersusah payah memalingkan umat
lewat upaya intelektual, dan hari ini upaya mereka tersebut dihancurkan
oleh stigmatisasi para penerus mereka sendiri yang dengan mudah tercium
kemurahannya oleh seluruh dunia. Barat telah memulai akhir dari
peradaban dan intelektualisme mereka sendiri.
Ketika barat begitu bangganya dengan nilai-nilai demokrasi dengan mengatakan kebebasan berbicara (freedom of speech),
di saat yang sama ia justru kebingungan memposisikan batasan antara
kebebasan berbicara dan larangan mencela, menghina dan mencaci-maki (hate speech).
“Bagi kami, khususnya bagi saya secara personal, video ini
benar-benar menjijikkan dan sangat tercela. Nampaknya memang sengaja
memiliki tujuan menghina, untuk merendahkan sebuah agama yang besar dan
memprovokasi kemarahan,” kata Menlu AS, Hillary Clinton, Kamis
(13/09/2012).
Namun ada lagi pernyataan menarik lain darinya. “Saya tahu sulit
bagi sebagian orang untuk memahami bahwa AS tak bisa atau tidak begitu
saja mencegah video tercela seperti ini muncul ke permukaan. Dunia saat
ini dengan teknologi terkini, hal itu mustahil,” terang Clinton.
Maksudnya, tentu saja Amerika mengecam, tetapi tetap melindungi setiap
orang-orang yang akan mencela agama lain, termasuk Islam.
“Bahkan kalaupun mungkin, negara kami punya tradisi panjang kebebasan
berekspresi yang dilindungi dalam konstitusi dan hukum kami, dan kami
tidak bisa menghentikan setiap warga negara yang mengekspresikan
pandangan mereka sekalipun itu tidak disukai,” jelasnya ibu negara AS
tersebut.
Prancis misalnya, bangga menjadi Negara beridiologi sekuler. Bangga
pula menjadikan free of speech sebagai bagian demokrasinya. Tapi negeri
ini punya aturan UU Anti Semit bagi siapa saja menghina, mencaci,
mencela agama Yahudi dan penganutnya. Siapa yang melakukan berdampak
dengan hukuman berat.
Inilah wajah-wajah kebingungan sebagai simbol dan representasi nilai-nilai Barat, yang sesungguhnya kurang layak dipertahankan.
Adalah seorang sejarahwan Prancis, Roger Garaudy dan penulis buku “The Founding Myths”. Ia
sudah kenyang masuk bui karena dalam banyak karyanya sering menggugat
dan mempertanyakaan adanya kamas gas dan peristiwa Holocoust. Ia bahkan
pernah diadili dan didenda 40.000 dollar.
David Irving pernah didenda 10.000 mark karena menyatakan kamar gas
hanyalah tipuan. Robert Faurrison, profesor sastra Prancis, diminta
berhenti mengajar karena mempertanyakan eksistensi kamar gas. Ia di
adili dan dihukum karena tuduhan "pemalsuan sejarah", lalu dipukuli oleh
Yahudi.
Hal serupa juga terjadi di Negara Barat lain, termasuk Amerika. Pada 16 Oktober 2004, George W. Bush menanda-tangani "Global Anti-Semitism Review Act”, yang butir ke-8 nya berbunyi, “Mengurangi jumlah korban Holocoust sebesar 6 juta orang, adalah tindakan Anti-Semit.”
Pada tahun 1985, ada kasus terbunuhnya Alex Odeh, di kantornya Arab
Anti-Discrimination Committee (AADC) di California. Juga Josemaria
Escriva, pastor anti Yahudi yang dituduh “Anti-Semit” hanya karena
pernah menyatakan konpensasi Yahudi dengan cara menjual peristiwa
Holocaust .
Penulis buku “The Holocaust Industry" Profesor Norman G.
Finklestein juga terpaksa harus menghadapi pengadilan karena pengajar di
New York City College ini mengungkap bahwa “industri kebohongan”
bernama Holocaust menjadi alat Yahudi untuk memeras Eropa dan Barat.
Dari cerita sejarah Holocaust, katanya, lahir ‘indutri politik’ dan
menjadi pemeras dolar.
Barat begitu memuja dan menyembah yang namanya freedom of expression (kebebasan mengeluarkan pendapat) dan freedom speech (kebebasan
bicara), sebagai kebebasan yang merupakan hak asasi manusia yang tak
boleh di ganggu gugat. Namun di saat yang sama ia membolehkan
mencaci-maki agama dan keyakinan –bahkan-- melindunginya dengan payung
hukum, namun tidak untuk agama Yahudi.
Peradaban Berakhlak
Kejadian-kejadian ini, secara pelan-pelan akan semakin menunjukkan
pada dunia kedok dan wajah asli Barat. Dalam setiap aksi politik nya
pun, Barat semakin menampakkan wajahnya. Pertama ketika Bush junior
menyebut kata “crusade” (Perang Salib)” tahun 2001, saat akan
menyerang Afghanistan, lalu membangun Kamp Penyiksaan di Abu Ghuraib dan
Guantanamo, untuk aktivis Islam, dan sekarang, berbagai kasus pelecehan
–termasuk pembakaran Qur’an, penghinaan Nabi-- semakin mempertunjukkan
dendam lama mereka dari masa Perang Salib.
Di kutub Barat, itulah yang terjadi. Di mana intelektual dan
peradabannya yang telah mulai rapuh, mengendor dan lama-lama akan kita
saksikan runtuh. Di sisi lain, yang perlu menjadi pertanyaan untuk diri
kita adalah di kutub mana kita sekarang akan berdiri? Bagaimanapun,
Islam mengajarkan kita tradisi adab dan akhlak tinggi dan mulia.
Intelektualitas tetaplah harus kita kedepankan. Islam mengajak manusia berpikir, bukan menebar stigma dan olokan.
Melalui gerakan intelektual, mari kita gerakan dan kita semai
peradaban Islam yang mulia ini dengan mengajak setiap orang –terutama
orang-orang Barat—untuk merenung tentang keesaan Allah, kebenaran
ayat-ayat Qur’an dan logika Hari Akhir. Pada masanya, apa yang terjadi
akhir-akhir ini semakin mendekatkan kita tentang kebenaran “perang
peradaban masa depan” antara Islam dan Barat, sebagaimana diprediksi
oleh Profesor Samuel P Huntington.
Di saat Barat semakin bingung dengan intelektualitas dan peradaban
yang mereka bangun sendiri, justru saat inilah kita harus tampil
menawarkan alternatifnya. Setelah itu, saat nya kita menunggu waktu, di
mana kelak, orang-orang Eropa dan Amerika mulai berbondong-bondong
mencari Islam, sebagaimana fenomena yang pernah kiita saksikan pasca
peristiwa 911. Wallahu a’lam.*
Penulis adalah Mahasiswa STIS Hidayatullah, Balikpapan
Home »
» Sulutan Yahudi, Sudutkan Islam
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !