Assalamualaikum Wr.Wb.
Saudaraku dimanapun berada, salam hangat untuk semua pembaca blogg dakwah ini semoga senantiasa dalam keadaaan limpahan rahmat dan hidayah Allah SWT, amin dan semoga kita senantiasa istiqomah dalam beribadah kepada-Nya. Amin.
Selawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada makluk terbaik termulya budi pekerti paling taat dan tawadu kepada Allah, Nabi Muhammad SAW para keluarga, sahabat, umat termasuk kita semua menjadi umat yang dicintainya, amin.
Saudaraku yang dirahmati Allah, pada kesempatan ini sengaja kami ingin menampilkan pengalaman cerita seseorang, saat berpuasa di negeri yang minoritas Islam tak lebih dari 3 persen populasinya. Namun kenyataan setelah berbagai hantaman cibiran dan fitnaah tersebut kini di negera adikuasa bernama Amerika Serikat ini penduduk muslim semakin berkembang seiring dengan berbagai tuduhan dari negara ini.
Negara Amerika Serikat adalah salah satu negara dengan keragaman etnis paling kaya di dunia, di mana imigran Muslim berdatangan dari seluruh dunia memperkaya komunitas Muslim yang berjumlah lebih dari 6 juta jiwa di AS. Amerika Serikat adalah salah satu negara dengan keragaman etnis paling kaya di dunia.
Keragaman ini semakin kental karena imigran yang terus berdatangan dari berbagai negara di penjuru bumi, termasuk para imigran Muslim. Di bulan Ramadan, para imigran muslim ini, punya pengalaman unik, berpuasa di Amerika. Bayangkan berpuasa di negara yang mayoritas warganya non-muslim. Di negara, di mana penduduk islamnya tidak mencapai tiga persen dari total populasi. Itulah yang terjadi di amerika.
Berpuasa, bagi para imigran yang berasal dari berbagai negara di penjuru dunia, menjadi pengalaman unik. Misalnya, seperti yang dirasakan Karim Kabore, yang berasal dari Burkina Faso. “Dalam banyak aspek, puasa di Burkina Faso dan Amerika, sama saja. Tapi di burkina faso, kami buka puasa pukul enam tiga puluh sore. Berbeda dengan di sini, yang jauh lebih lama. Buka puasa baru pukul setengah sembilan malam,” ujar Karim.
Bahkan Shady, pemuda Mesir yang sedang liburan di Amerika, mengaku kewalahan, berpuasa di negeri Paman Sam. Ia menjelaskan, “Jauh berbeda. Di Mesir, puasa sudah mengakar menjadi budaya. Masjid-masjid penuh dengan orang yang beribadah. Puasa jadi lebih mudah.
Di lain pihak, sebenarnya, berpuasa di negara yang mayoritas orangnya non-Muslim, membuat saya merasa lebih kuat. Iya, puasa di Amerika lebih susah. Apalagi makanannya (juga) berbeda.” Ramadan kali ini, jatuh pada musim panas. Di Pantai Timur Amerika, matahari terbit sekitar pukul setengah lima pagi, dan terbenam pukul setengah sembilan malam. Puasa, menahan haus, lapar, dan hawa nafsu lainnya, berlangsung selama enam belas jam.
Tantangan bertambah, karena suhu bisa sangat tinggi. Namun, itu bukan kendala bagi Arslan, pegawai kantoran di Washington DC, yang berasal dari Kazakhstan. Arslan mengatakan, “Bagi saya tidak begitu sulit, karena saya kerja kantoran. AC di kantor membuat ruangan sejuk. Dan saya jarang sekali keluar, ketika panas. Jadi, puasa di Amerika tidak begitu sulit. Saya kadang-kadang cuma terganggu dengan bau kopi. Saya sangat suka kopi.”
Meskipun Islam bukan mayoritas, namun, banyak yang tidak menyangka, paska tragedi 11 September, populasi Islam di Amerika, terus meningkat. Bahkan, sejak tahun 2001, jumlahnya bertambah lebih dari enam juta jiwa.
Menurut Cheif Muhammad asal Tanzania, hal ini terlihat, dari jumlah jamaah sholat tarawih. Ia menceritakan, “Sepuluh tahun lalu, ketika tarawih, hanya ada satu shaf. Tapi sekarang, hampir separuh masjid penuh. Lihat saja dikeliling kita saat ini, orang-orang datang dari berbagai negara, berbagai ras. Dan kita semua umat muslim, kita bersatu.” Kebutuhan ekonomi, menjadi salah satu alasan mereka, menjadi pendatang di amerika.
Namun, tak dapat dipungkiri, ketika ramadan terus bergulir, kerinduan pada kampung halaman, muncul. “Saya merindukan saudara-saudara saya di Burkina Faso. Di sini orang-orang lebih individualis. Ketika pekerjaan selesai, mereka langsung pulang. Dan saya tidak ada kesempatan mengunjungi orang-tua saya di Burkina Faso. Ini yang paling saya rindukan,” demikian pengakuan Karim Kabore.
Waalaikum Salam Wr.Wb
Semoga bermanfaat
merika
Serikat adalah salah satu negara dengan keragaman etnis paling kaya di
dunia, di mana imigran Muslim berdatangan dari seluruh dunia memperkaya
komunitas Muslim yang berjumlah lebih dari 6 juta jiwa di AS.
Amerika Serikat adalah salah satu negara dengan keragaman etnis paling kaya di dunia. Keragaman ini semakin kental karena imigran yang terus berdatangan dari berbagai negara di penjuru bumi, termasuk para imigran Muslim.
Di bulan Ramadan, para imigran muslim ini, punya pengalaman unik, berpuasa di Amerika.
Bayangkan berpuasa di negara yang mayoritas warganya non-muslim. Di negara, di mana penduduk islamnya tidak mencapai tiga persen dari total populasi. Itulah yang terjadi di amerika. Berpuasa, bagi para imigran yang berasal dari berbagai negara di penjuru dunia, menjadi pengalaman unik. Misalnya, seperti yang dirasakan Karim Kabore, yang berasal dari Burkina Faso.
“Dalam banyak aspek, puasa di Burkina Faso dan Amerika, sama saja. Tapi di burkina faso, kami buka puasa pukul enam tiga puluh sore. Berbeda dengan di sini, yang jauh lebih lama. Buka puasa baru pukul setengah sembilan malam,” ujar Karim.
Bahkan Shady, pemuda Mesir yang sedang liburan di Amerika, mengaku kewalahan, berpuasa di negeri Paman Sam. Ia menjelaskan, “Jauh berbeda. Di Mesir, puasa sudah mengakar menjadi budaya. Masjid-masjid penuh dengan orang yang beribadah. Puasa jadi lebih mudah. Di lain pihak, sebenarnya, berpuasa di negara yang mayoritas orangnya non-Muslim, membuat saya merasa lebih kuat. Iya, puasa di Amerika lebih susah. Apalagi makanannya (juga) berbeda.”
Ramadan kali ini, jatuh pada musim panas. Di Pantai Timur Amerika, matahari terbit sekitar pukul setengah lima pagi, dan terbenam pukul setengah sembilan malam. Puasa, menahan haus, lapar, dan hawa nafsu lainnya, berlangsung selama enam belas jam. Tantangan bertambah, karena suhu bisa sangat tinggi.
Namun, itu bukan kendala bagi Arslan, pegawai kantoran di Washington DC, yang berasal dari Kazakhstan. Arslan mengatakan, “Bagi saya tidak begitu sulit, karena saya kerja kantoran. AC di kantor membuat ruangan sejuk. Dan saya jarang sekali keluar, ketika panas. Jadi, puasa di Amerika tidak begitu sulit. Saya kadang-kadang cuma terganggu dengan bau kopi. Saya sangat suka kopi.”
Meskipun Islam bukan mayoritas, namun, banyak yang tidak menyangka, paska tragedi 11 September, populasi Islam di Amerika, terus meningkat. Bahkan, sejak tahun 2001, jumlahnya bertambah lebih dari enam juta jiwa. Menurut Cheif Muhammad asal Tanzania, hal ini terlihat, dari jumlah jamaah sholat tarawih.
Ia menceritakan, “Sepuluh tahun lalu, ketika tarawih, hanya ada satu shaf. Tapi sekarang, hampir separuh masjid penuh. Lihat saja dikeliling kita saat ini, orang-orang datang dari berbagai negara, berbagai ras. Dan kita semua umat muslim, kita bersatu.”
Kebutuhan ekonomi, menjadi salah satu alasan mereka, menjadi pendatang di amerika. Namun, tak dapat dipungkiri, ketika ramadan terus bergulir, kerinduan pada kampung halaman, muncul.
“Saya merindukan saudara-saudara saya di Burkina Faso. Di sini orang-orang lebih individualis. Ketika pekerjaan selesai, mereka langsung pulang. Dan saya tidak ada kesempatan mengunjungi orang-tua saya di Burkina Faso. Ini yang paling saya rindukan,” demikian pengakuan Karim Kabore.
Namun, Idul Fitri, kerap menjadi waktu pengobat rindu bagi mereka, untuk pulang mudik ke negara asal, bertemu keluarganya. Atau hanya saling menyapa, melalui dunia maya.
- See more at: http://www.ddhongkong.org/pengalaman-puasa-imigran-muslim-di-amerika/#sthash.YSfxwCQK.dpuf
Amerika Serikat adalah salah satu negara dengan keragaman etnis paling kaya di dunia. Keragaman ini semakin kental karena imigran yang terus berdatangan dari berbagai negara di penjuru bumi, termasuk para imigran Muslim.
Di bulan Ramadan, para imigran muslim ini, punya pengalaman unik, berpuasa di Amerika.
Bayangkan berpuasa di negara yang mayoritas warganya non-muslim. Di negara, di mana penduduk islamnya tidak mencapai tiga persen dari total populasi. Itulah yang terjadi di amerika. Berpuasa, bagi para imigran yang berasal dari berbagai negara di penjuru dunia, menjadi pengalaman unik. Misalnya, seperti yang dirasakan Karim Kabore, yang berasal dari Burkina Faso.
“Dalam banyak aspek, puasa di Burkina Faso dan Amerika, sama saja. Tapi di burkina faso, kami buka puasa pukul enam tiga puluh sore. Berbeda dengan di sini, yang jauh lebih lama. Buka puasa baru pukul setengah sembilan malam,” ujar Karim.
Bahkan Shady, pemuda Mesir yang sedang liburan di Amerika, mengaku kewalahan, berpuasa di negeri Paman Sam. Ia menjelaskan, “Jauh berbeda. Di Mesir, puasa sudah mengakar menjadi budaya. Masjid-masjid penuh dengan orang yang beribadah. Puasa jadi lebih mudah. Di lain pihak, sebenarnya, berpuasa di negara yang mayoritas orangnya non-Muslim, membuat saya merasa lebih kuat. Iya, puasa di Amerika lebih susah. Apalagi makanannya (juga) berbeda.”
Ramadan kali ini, jatuh pada musim panas. Di Pantai Timur Amerika, matahari terbit sekitar pukul setengah lima pagi, dan terbenam pukul setengah sembilan malam. Puasa, menahan haus, lapar, dan hawa nafsu lainnya, berlangsung selama enam belas jam. Tantangan bertambah, karena suhu bisa sangat tinggi.
Namun, itu bukan kendala bagi Arslan, pegawai kantoran di Washington DC, yang berasal dari Kazakhstan. Arslan mengatakan, “Bagi saya tidak begitu sulit, karena saya kerja kantoran. AC di kantor membuat ruangan sejuk. Dan saya jarang sekali keluar, ketika panas. Jadi, puasa di Amerika tidak begitu sulit. Saya kadang-kadang cuma terganggu dengan bau kopi. Saya sangat suka kopi.”
Meskipun Islam bukan mayoritas, namun, banyak yang tidak menyangka, paska tragedi 11 September, populasi Islam di Amerika, terus meningkat. Bahkan, sejak tahun 2001, jumlahnya bertambah lebih dari enam juta jiwa. Menurut Cheif Muhammad asal Tanzania, hal ini terlihat, dari jumlah jamaah sholat tarawih.
Ia menceritakan, “Sepuluh tahun lalu, ketika tarawih, hanya ada satu shaf. Tapi sekarang, hampir separuh masjid penuh. Lihat saja dikeliling kita saat ini, orang-orang datang dari berbagai negara, berbagai ras. Dan kita semua umat muslim, kita bersatu.”
Kebutuhan ekonomi, menjadi salah satu alasan mereka, menjadi pendatang di amerika. Namun, tak dapat dipungkiri, ketika ramadan terus bergulir, kerinduan pada kampung halaman, muncul.
“Saya merindukan saudara-saudara saya di Burkina Faso. Di sini orang-orang lebih individualis. Ketika pekerjaan selesai, mereka langsung pulang. Dan saya tidak ada kesempatan mengunjungi orang-tua saya di Burkina Faso. Ini yang paling saya rindukan,” demikian pengakuan Karim Kabore.
Namun, Idul Fitri, kerap menjadi waktu pengobat rindu bagi mereka, untuk pulang mudik ke negara asal, bertemu keluarganya. Atau hanya saling menyapa, melalui dunia maya.
- See more at: http://www.ddhongkong.org/pengalaman-puasa-imigran-muslim-di-amerika/#sthash.YSfxwCQK.dpuf
merika
Serikat adalah salah satu negara dengan keragaman etnis paling kaya di
dunia, di mana imigran Muslim berdatangan dari seluruh dunia memperkaya
komunitas Muslim yang berjumlah lebih dari 6 juta jiwa di AS.
Amerika Serikat adalah salah satu negara dengan keragaman etnis paling kaya di dunia. Keragaman ini semakin kental karena imigran yang terus berdatangan dari berbagai negara di penjuru bumi, termasuk para imigran Muslim.
Di bulan Ramadan, para imigran muslim ini, punya pengalaman unik, berpuasa di Amerika.
Bayangkan berpuasa di negara yang mayoritas warganya non-muslim. Di negara, di mana penduduk islamnya tidak mencapai tiga persen dari total populasi. Itulah yang terjadi di amerika. Berpuasa, bagi para imigran yang berasal dari berbagai negara di penjuru dunia, menjadi pengalaman unik. Misalnya, seperti yang dirasakan Karim Kabore, yang berasal dari Burkina Faso.
“Dalam banyak aspek, puasa di Burkina Faso dan Amerika, sama saja. Tapi di burkina faso, kami buka puasa pukul enam tiga puluh sore. Berbeda dengan di sini, yang jauh lebih lama. Buka puasa baru pukul setengah sembilan malam,” ujar Karim.
Bahkan Shady, pemuda Mesir yang sedang liburan di Amerika, mengaku kewalahan, berpuasa di negeri Paman Sam. Ia menjelaskan, “Jauh berbeda. Di Mesir, puasa sudah mengakar menjadi budaya. Masjid-masjid penuh dengan orang yang beribadah. Puasa jadi lebih mudah. Di lain pihak, sebenarnya, berpuasa di negara yang mayoritas orangnya non-Muslim, membuat saya merasa lebih kuat. Iya, puasa di Amerika lebih susah. Apalagi makanannya (juga) berbeda.”
Ramadan kali ini, jatuh pada musim panas. Di Pantai Timur Amerika, matahari terbit sekitar pukul setengah lima pagi, dan terbenam pukul setengah sembilan malam. Puasa, menahan haus, lapar, dan hawa nafsu lainnya, berlangsung selama enam belas jam. Tantangan bertambah, karena suhu bisa sangat tinggi.
Namun, itu bukan kendala bagi Arslan, pegawai kantoran di Washington DC, yang berasal dari Kazakhstan. Arslan mengatakan, “Bagi saya tidak begitu sulit, karena saya kerja kantoran. AC di kantor membuat ruangan sejuk. Dan saya jarang sekali keluar, ketika panas. Jadi, puasa di Amerika tidak begitu sulit. Saya kadang-kadang cuma terganggu dengan bau kopi. Saya sangat suka kopi.”
Meskipun Islam bukan mayoritas, namun, banyak yang tidak menyangka, paska tragedi 11 September, populasi Islam di Amerika, terus meningkat. Bahkan, sejak tahun 2001, jumlahnya bertambah lebih dari enam juta jiwa. Menurut Cheif Muhammad asal Tanzania, hal ini terlihat, dari jumlah jamaah sholat tarawih.
Ia menceritakan, “Sepuluh tahun lalu, ketika tarawih, hanya ada satu shaf. Tapi sekarang, hampir separuh masjid penuh. Lihat saja dikeliling kita saat ini, orang-orang datang dari berbagai negara, berbagai ras. Dan kita semua umat muslim, kita bersatu.”
Kebutuhan ekonomi, menjadi salah satu alasan mereka, menjadi pendatang di amerika. Namun, tak dapat dipungkiri, ketika ramadan terus bergulir, kerinduan pada kampung halaman, muncul.
“Saya merindukan saudara-saudara saya di Burkina Faso. Di sini orang-orang lebih individualis. Ketika pekerjaan selesai, mereka langsung pulang. Dan saya tidak ada kesempatan mengunjungi orang-tua saya di Burkina Faso. Ini yang paling saya rindukan,” demikian pengakuan Karim Kabore.
Namun, Idul Fitri, kerap menjadi waktu pengobat rindu bagi mereka, untuk pulang mudik ke negara asal, bertemu keluarganya. Atau hanya saling menyapa, melalui dunia maya.
- See more at: http://www.ddhongkong.org/pengalaman-puasa-imigran-muslim-di-amerika/#sthash.YSfxwCQK.dpuf
Amerika Serikat adalah salah satu negara dengan keragaman etnis paling kaya di dunia. Keragaman ini semakin kental karena imigran yang terus berdatangan dari berbagai negara di penjuru bumi, termasuk para imigran Muslim.
Di bulan Ramadan, para imigran muslim ini, punya pengalaman unik, berpuasa di Amerika.
Bayangkan berpuasa di negara yang mayoritas warganya non-muslim. Di negara, di mana penduduk islamnya tidak mencapai tiga persen dari total populasi. Itulah yang terjadi di amerika. Berpuasa, bagi para imigran yang berasal dari berbagai negara di penjuru dunia, menjadi pengalaman unik. Misalnya, seperti yang dirasakan Karim Kabore, yang berasal dari Burkina Faso.
“Dalam banyak aspek, puasa di Burkina Faso dan Amerika, sama saja. Tapi di burkina faso, kami buka puasa pukul enam tiga puluh sore. Berbeda dengan di sini, yang jauh lebih lama. Buka puasa baru pukul setengah sembilan malam,” ujar Karim.
Bahkan Shady, pemuda Mesir yang sedang liburan di Amerika, mengaku kewalahan, berpuasa di negeri Paman Sam. Ia menjelaskan, “Jauh berbeda. Di Mesir, puasa sudah mengakar menjadi budaya. Masjid-masjid penuh dengan orang yang beribadah. Puasa jadi lebih mudah. Di lain pihak, sebenarnya, berpuasa di negara yang mayoritas orangnya non-Muslim, membuat saya merasa lebih kuat. Iya, puasa di Amerika lebih susah. Apalagi makanannya (juga) berbeda.”
Ramadan kali ini, jatuh pada musim panas. Di Pantai Timur Amerika, matahari terbit sekitar pukul setengah lima pagi, dan terbenam pukul setengah sembilan malam. Puasa, menahan haus, lapar, dan hawa nafsu lainnya, berlangsung selama enam belas jam. Tantangan bertambah, karena suhu bisa sangat tinggi.
Namun, itu bukan kendala bagi Arslan, pegawai kantoran di Washington DC, yang berasal dari Kazakhstan. Arslan mengatakan, “Bagi saya tidak begitu sulit, karena saya kerja kantoran. AC di kantor membuat ruangan sejuk. Dan saya jarang sekali keluar, ketika panas. Jadi, puasa di Amerika tidak begitu sulit. Saya kadang-kadang cuma terganggu dengan bau kopi. Saya sangat suka kopi.”
Meskipun Islam bukan mayoritas, namun, banyak yang tidak menyangka, paska tragedi 11 September, populasi Islam di Amerika, terus meningkat. Bahkan, sejak tahun 2001, jumlahnya bertambah lebih dari enam juta jiwa. Menurut Cheif Muhammad asal Tanzania, hal ini terlihat, dari jumlah jamaah sholat tarawih.
Ia menceritakan, “Sepuluh tahun lalu, ketika tarawih, hanya ada satu shaf. Tapi sekarang, hampir separuh masjid penuh. Lihat saja dikeliling kita saat ini, orang-orang datang dari berbagai negara, berbagai ras. Dan kita semua umat muslim, kita bersatu.”
Kebutuhan ekonomi, menjadi salah satu alasan mereka, menjadi pendatang di amerika. Namun, tak dapat dipungkiri, ketika ramadan terus bergulir, kerinduan pada kampung halaman, muncul.
“Saya merindukan saudara-saudara saya di Burkina Faso. Di sini orang-orang lebih individualis. Ketika pekerjaan selesai, mereka langsung pulang. Dan saya tidak ada kesempatan mengunjungi orang-tua saya di Burkina Faso. Ini yang paling saya rindukan,” demikian pengakuan Karim Kabore.
Namun, Idul Fitri, kerap menjadi waktu pengobat rindu bagi mereka, untuk pulang mudik ke negara asal, bertemu keluarganya. Atau hanya saling menyapa, melalui dunia maya.
- See more at: http://www.ddhongkong.org/pengalaman-puasa-imigran-muslim-di-amerika/#sthash.YSfxwCQK.dpuf
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !