Bsimillahirrohmanirrohim
Assalamualaikum Wr.Wb.
Saudaraku se-Iman dimanapun berada, mari bersama-sama bersyukur kepada Allah SWT atas berbagai nikmat tak terhitung jumlah ini. dengan cara meningkatkan amalan-amalan ibadah lain agar kita terjaga dari azab Allah SWT, amin.
Mari kita sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW selawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat dan hingga kita semua semoga bisa istiqomah daam mengamalkan risalah-Nya. Amin.
Saudaraku, perlu kita mengetahui tentang peradaban barat modern dimulai sejak munculnya renaissance sebagai angka perbandingan kita semuya.
Bahwa gelombang renaissance menyinari peradaban barat setelah berabad-abad tenggelam dalam kebodohan dan kungkungan gereja. Renaisance barat ini berkembang begitu pesat dengan dukungan revolusi teknologi dan industri tahun 1890-an.
Dampak dari renaissance dan revolusi industri telah mengubah peta kekuatan dunia dan memberikan pengaruh yang luar biasa hebat pada peradan dunia khususnya.
Islam yang setelah sekian lama menggenggam kejayaan, yang akhirnya runtuh seakan tak berdaya dan terkagum-kagum memandang peradaban barat. Ada beberapa sikap yang muncul dalam umat Islam menghadapi modernisasi barat. Secara umum sikap itu bias dibedakan menjadi tiga macam. Menolak segala yang berbau barat, menerima semua yang barat dengan segal resikonya dan terakhir mengadopsi sisi kebaikan barat.
Kejatuhan umat Islam secara historis dimulai semenjak abad ke-15, sekalipun di bidang politik dan militer umat Islam masih unggul, tetapi di bidang pemikiran dan intelektualisme umat Islam telah memasuki proses pembekuan diri. Karya-karya kreatif bernilai tinggi tidak lagi bermunculan, terutama di dunia Sunni.
Mulai abad ke-16 kultur yang berkembang di dunia Muslim seperti yang diungkapkan oleh Bassam Tibi, sarjana Muslim Jerman asal Suria yang kemudian dikutip oleh oleh A. Syafi’I M 1, adalah kultur bertahan ( defensive culture)
Situasi ini diperparah dengan kesimpulan penelitian dua orientalis kenamaan: Ernast renan (Perancis) dan Wlilliam Muir (Inggris) yang mengatakan bahawa keterbelakangan umat Islam adalah karena peradabannya yang inferior (berkualitas rendah ) dan ini berkait dengan agama mereka yang inferior.
Jamaluddin al Afghani -sebagaimana yang akan dipaparkan berikut ini – dan Namik Kemal telah membantah semua tuduhan ini. Keadaan ini berlangsung kira-kira sekitar lima abad. Masa-masa kejatuhan ini telah dimanfaatkan oleh pihak Barat untuk menguasai hampir seluruh dunia Islam di Asia dan Afrika , dua benua tempat mayoritas umat Islam.
Selama masa imperialisme Barat terhadap dunia islam ini , umat Islam selalu mengadakan perlawanan, namun perlawanan ini tidak begitu bermakna, karena pihak Barat teralu unggul di dalam bidang ilmu dan teknologi modern termasuk teknologi senjata dan perang. Puncak dominasi Barat terhadap dunia Islam terjadi pada abad ke-19, suatu abad yang kemudian sekaligus juga menjadi titik balik dalam sejarah hubungan Barat dan Islam.
Tali lasso, istilah Toynbee yang dipinjam oleh A. Syafi’I M 2, yang diikatkan di leher umat Islam berangsur mulai dilepaskan. Umat Islam mulai sadar akan situasi keterbelakangannya. Kemudian sesudah perang Dunia II kebanyakan negeri Muslim berhasil memperoleh kemerdekaannya, baik lewat perjuangan bersenjata maupun diplomasi
Kemerosotan Islam dalam berbagai bidang dimulai semenjak abad sembilan belas. Imperalisme modern telah memporakporandakan Islam. Betapa tajam perbedan Islam dan barat dari sisi peradaban atau kemajuan yang telah dicapainya. Banyak orang-orang Islam yang berkesempatan ke barat begitu tercengang dengan peradaban barat.
Mukti Ali melukiskan betapa kontrasnya antara kemajuan di dunia barat dengan dunia Islam saat itu dengan mengutip Sir Sayyid Ahmad Khan yang berkesempatan mengunjungi London, ia menulis ” tinggi dan rendah, saudagar dan penjual di took-toko, terdidik dan buta huruf, apabila dibandingkan dengan Inggris dalam pendidikan, tingkah laku dan kejujuran penduduk pribumi itu adalah seperti hewan kotor dibandingkan dengan orang yang cakap lagi gagah “.
Prestasi luar biasa modernisasi barat saat ini merupakan buah perjalanan panjang dari abad Renaisance pada abad ke-16, dilanjutkan dengan zaman pencerahan pada abad ke-18, Revolusi industri, ilmu dan teknologi yang berjalan dengan pesat sejak tiga (3) abad terakhir ini telah mengantarkan manusia pada perubahan yang tidak terbayangkan sebelumnya.4
Berhadapan dengan tantangan ilmu dan teknologi modern yang bertumpu pada landasan modernitas, jawaban yang diberikan oleh sarjana Muslim secara kasar dapat dibedakan menjadi tiga tipologi:
Pertama, kelompok modernis dan penerusnya neo-modernis Muslim. Tokohnya adalah al Afghani, Abduh, Ahmad Khan, Syibli Nu’mani. Namik Kemal, Ziya Golkap, Iqbal, H. Agus Salim, M. Natsir, Hamka, Amir Syakib Arsalan, Muhammad Asad, Fadlurrahman, Ali Syari’ati dan juga Ismail raj’I al Faruqi serta Muhammad Arkoun.
Kelompok ini terkenal sebagai pembela prinsip ijtihad sebagai metode untuk menerobos kebekuan berpikir umat Islam. Mereka memberikan kritik kepada ulama tradisional karena sikap ulama tradisional yang begitu terpukau oleh pemikira klasik yang begitu gemilang dan kaya sehingga visi mereka terhadap al Qur’an bahkan disilaukan oleh tradisi yang kaya tersebut.Kelompok ini juga selektif dan kritis terhadap barat. Gagasan dari Barat yang baik mereka ambil dan dibingkai dengan Islam.
Kedua, kelompok neo-tradisionalis dengan kecenderungan yang kental bercampur dengan filsafat. Mereka umumnya muncul setelah Perang Dunia II. Tokohnya antara lain: F. Schoun, Hamid Algar, Roger Garaudy, Martin Lings (adalah sarjana barat yang menjadi muslim), Hossen Nasr, Muhammad Naquib al Attas.
Kelompok kedua ini menilai tradisi filsafat dan sufi dalam pemikiran Islam sebagai sah belaka yang tidak perlu dikritisi sebagaimana dicanangkan oleh kelompok pertama. Bahkan kelompok kedua ini juga tidak berbicara tetang kaitan Islam dengan politk seperti yang dilakukan oleh kelompok pertama. Hubungannya dengan barat, kelompok kedua ini memandanga bahwa peradaban barat modern telah tercerabut dari akar spiritual-transendental, dan telah sepenuhnya bercorak antroposentris.
Ketiga, keolompok yang serba eksklusif Islam yang menjadikan Islam terutama sebagai ideologi politik. Mereka sangat anti Barat. Tokohnya adalah Abu A’la al Maududi, Sayyid Qutb dan dlam batas tertentu Ayatullah Khomeini. Mereka hendak menawarkan Islam yang belum tercemar peradaban dalam penilaian mereka.
Keempat, kelompok modernis sekularis Muslim. Diantaranya adalah Ali Abd Raziq, Kemal al Taturk, Sukarno, Bassam Tibi, Abdullah Laroui, Detlev H Khalid, termasuk pula Abul Kalam Azad. Kelompok ini memandang bahwa agama cukup sebagai sistem etika .Bila dunia Islam hendak beranjak dari pra-industri yang serba terbelakang, maka satu-satunya pilihan yang harus ditempuh adalah melepaskan agama dari panggung politik.5
Berikut ini akan dilihat tipe sosok al Afghani, kehebatan dan kontribusi al Afghani dalam usahanya memajukan umat Islam, membebaskannya dari belenggu imperialisme, pikiran-pikirannya, gerakan-gerakannya. Pandangannya tentang kondisi (intelektualisme, teologi, ibadah,politik, dan aspek lainnya) umat Islam. Pandangnnya terhadap Barat (agresivitas, kemajuan).
Sosok al Afghani (kehidupan dan aktifitasnya )
Oleh Husayn Ahmad Amin,6 Jamaluddin al Afghani (1838-1897) dimasukkan dalam seratus tokoh dalam sejarah Islam. Ia merupakan seorang filosof, penulis, orator dan wartawan, juga sebagai politikus yang merupakan roda penggerak kebangkitan Islam abad 19 Masehi. Ia juga merupakan inspirasi bagi gerakan-gerakan kemerdekaan di Negara-negara Islam zamannya. Ia dilahirkan pada 09 Maret 1897. Terdapat versi yang berbeda mengenai tempat kelahirannya, menurut pengakuannya, ia dilahirkan di Asadabad, suatu desa di Konar, wilayah distrik Kabul Afghanistan. Versi lainnya menyebutkan bahwa ia dilahirkan di Asadabad dekat Hamadan, Persia ( Iran ). Kesimpangsiuran ini terkait dengan dua aliran besar Islam yakni Sunni dan Syi’i. 7
Informasi yang diberikan oleh John. L.Esposito 8 menyatakan bahwa al Afghani berasal dari Iran, berdasarkan bukti dokumen ketika ia dikeluarkan dari Iran dan juga ketika di Afghanistan ia berbicara sebagai orang asing yang dulunya tidak dikenal di Afghanistan dan berbicara Persia layaknya orang Iran. Konon pengakuannya sebagai orang Afghanistan demi menyelamatkan dirinya dari penguasa Iran yang tidak senang terhadap dirinya.
Sunni Muslim tampak segan untuk mengakui bahwa al Afghani berasal dari kalangan Sy’I Iran. Bagaimanapun ia melakukan perlindungan diri dari tradisi Syi’i dan takut ketahuan identitas Irannya. Lebih dari itu, ia tahu bahwa ia sedikit memberikan pengarauh bila diduga dari Syi’i Iran. Tidak ada bukti bahwa ia secara internal mengidentifikasikan dirinya sebagai Syi’i, dan pemikiran Pan-Islamnya memasukkan reduksi konflik Sunni-Syi’i.
Ia menghabiskan masa kecil dan remaja di Afghanistan. Di kampungnya ia mulai mendapatkan pendidikannya yang dilanjutkan di Kabul dan Iran. Di Kabul ketika berumur 18 tahun ia mempelajari beberapa cabang ilmu keislaman di samping belajar filsafat dan eksakta. 9 Namun menurut John L.Esposito 10, beberapa dokumen mengindikasikan bahwa al Afghani memperoleh pendidikan di desanya Asadabad sebelah barat laut Iran, juga di Qazvin dan Tehran. Kemudian ia melanjutkan pendidikan tingginya tahun1850-an di kota suci Syi’i di Ottoman Iraq. Buku-buku dan tulisan al Afghani juga mengkonfirmasikan adanya pengaruh filusuf Islam rasionalis , khususnya seperti beberapa pemikir Iran seperti Ibnu Sina dan Nasir al Din Tusi.
Ia menuju Mesir tahun 1871 kemudian menetap di Kairo dan mulai memusatkan perhatiannya pada ilmu pengetahuan dan sastra Arab. Rumahnya dijadikan tempat pertemuan murid-murid dan pengikut-pengikutnya. Di sini ia memberikan kuliah dan mengadakan diskusi yang diikuti orang-orang terkemukan dalam bidang pengadilan, dosen-dosen, mahasiswa dan juga pegawai-pegawai pemerintah. Muhammad Abduh, Abd Allah Nadim, Sa’ad Zaglul, dan Ya’qub Sannu’ pemimpin kemerdekaan Mesir, adalah murid-murid Jamal al Din Al Afghani.11 Ia juga mengorganisir perkumpulan al Uratul wutsqa di Paris yang akhirnya menerbitkan majalah dengan nama yang sama.
Ia juga menjadi anggota dewan pendidikan dan dosen di universitas baru daerah Tanzimat dan banyak memberikan kuliah umum, namun pandangan-pandangannya seringkali bertolak belakang dengan pandangan ulama konservatif yang menyerangnya dan universitasnya.12
Al Afghani banyak melakukan lawatan ke berbagai negara semisal Istanbul, Tehran, Kabul, Hyderabad, Calcutta, Kairo, London, Paris dan St Pettersburg. Keterlibatannya dalam berbagai gerakan politik di berbagai Negara tersebut menjadikan senantiasa mendapatkan pengusiran dari penguasa. Itulah diantaranya yang menyebabkan mengapa ia selalu berpindah-pindah.
Pada usia duapuluh tahun ia diangkat menjadi pembantu Pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Tahun 1984 Menjadi penasehat Sher Ali Khan dan beberapa tahun kemudian diangkat menjadi perdana menteri oleh Muhammad A’zam Khan. Di Mesir tahun 1876 ia kembali terjun ke dunia politik, ia memasuki perkumpulan Freemason. Dan membentuk partai Hizb al Watan untuk menanamkan rasa nasionalisme di kalangan rakyat Mesir.
Kontribusinya Pada Dunia Islam
1. Pandangannya terhadap Islam dan Barat
Isu pokok yang cuba ditangani oleh al-Afghani ialah kemunduran dan kelemahan umat Islam terutama dalam kaitannya dengan kuasa Barat. Jamal al-Din menelusuri akar punca kehilangan dinamika umat Islam itu dan menemukannya pada pencemaran ajaran Islam yang dilakukan oleh kaum zindiq, kalangan sufi, golongan sophist dan pemalsu hadis. Dengan demikian tulisan al-Afghani rata-rata memusat pada tema pemurnian agama dengan menekankan dinamika dan daya dorongnya ke arah kemajuan. Dengan semangat itulah Jamal al-Din membicarakan isu seperti Kadak dan Kadar, peranan akal, ilmu dan sebagainya. Dengan semangat itu jugalah Jamal al-Din menulis karya sanggahannya seperti al-Radd ‘ala al-Dahriyyin (Sanggahan terhadap Golongan Materialis/Naturalis) dan polemiknya dengan Ernast Renan mengenai Islam dan ilmu.
Al-Radd ‘ala al-Dahriyyin adalah satu-satunya karya falsafah al-Afghani yang dihasilkan ketika menjalani pengasingan di India. Kelahirannya dilatari suasana kekalutan umat di benua kecil itu menanggapi isu yang dinamakan faham nechari. Kerana rasa tanggungjawab intelektualnya yang sangat mendalam al-Afghani tidak dapat mengelak daripada memberikan reaksinya. Menurutnya memang ajaran Islam itu rasional. Tetapi kebenarannya tidak tertakluk kepada kesesuainnya dengan nature (alam) semata-mata. Islam itu benar kerana ia adalah wahyu Ilahi (K. Cragg, 1965, 34 – 35).
Selain itu yang sangat ditekankannya adalah peranan agama dalam mengangkat martabat manusia dan membangun tamadunnya. Dalam kaitan itu Islam diperlihatkan sebagai agama paling lengkap dengan ramuan asasi bagi pembangunan tamadun yang unggul. Islam membekalkan manusia dengan akidah tauhidi yang membebaskannya daripada belenggu segala kepercayaan, mitos dan dongeng yang tidak rasional. Islam memberikan harga diri kepada manusia sebagai makhluk terunggul di bumi.
2. Pandangannya mengenai akal dan Agama
Ia juga memberikan akal manusia ruang berperanan secukupnya di samping memupuk sifat keinsanan terpuj
Di samping melakukan islah dalaman, al-Afghani juga gigih menangani cabaran luaran, baik cabaran intelektual mahupun politik. Antara yang banyak mendapat perhatiannya ialah dialog intelektualnya dengan Ernest Renan di Paris pada 1883. Ia berpangkal daripada ceramah provokatif E Renan mengenai ‘Islam dan ilmu’ yang disampaikannya di Sorbonne pada Mac tahun itu yang kemudiannya disiarkan dalam Journal Des Debats.
Antara lain E Renan mendakwa Islam tidak sejalan dengan ilmu, dengan implikasi Islam memang tidak berupaya membangun tamadun. Mengenai ilmu dan falsafah Arab yang pernah menyubur dalam tamadun Islam itu Renan berpendapat ia bukanlah hasil asli intelektualisme Arab. Yang Arab hanya bahasanya, sedang isinya adalah Yunani. Jamal al-Din membuktikan semangat antiilmu itu dengan merujuk realiti kemunduran dunia Islam kontemporer di samping catatan sejarah tekanan penguasa dan agamawan terhadap golongan ilmuwan. Dalam hal ini Renan menyamakan Islam dengan Kristian dari segi kongkongannya terhadap perkembangan ilmu.
Realiti kemunduran umat Islam itu memang terpaksa diakui, tetapi al-Afghani menyifatkannya sebagai fenomena sementara. Islam hanya memerlukan suatu gerakan reformasi untuk kembali segar dan mampu berfungsi sebagai wahana kebangkitan tamadun umat. Samalah dengan pengalaman Kristian dengan reformasi Lutheriannya. Dalam kaitan inilah timbulnya dugaan yang al-Afghani sendiri mungkin menyimpan hasrat untuk menjadi semacam ‘Luther’ dalam konteks yang Islami.
Al-Afghani juga mempertahankan keaslian tamadun Islam zaman silam.Menurutnya tamadun keilmuan akliah yang pernah menyemarak itu memang sesungguhnya berciri Islanmi dan Arab. Meskipun sebahagian daripada tokoh ilmuwan yang membintangi era itu berlatar keturunan bukan Arab, tetapi mereka berkarya dalam bahasa Arab. Menurut al-Afghani bahasalah yang membentuk sesuatu umat dan membezakannya daripada yang lain. Dengan demikian tokoh ilmuwan seperti Ibn Sina dapat dianggap sebagai orang Arab dan seterusnya ilmu yang diekspresikan dalam bahasa Arab diterima sebagai ilmu Arab (A Hourani, 1968: 153).
Al-Afghani mewajarkan pelepasan ilmu dan pemikiran Barat daripada kawalan agama. Baginya sekularisasi memang seharusnya berlaku sebagai akibat logik daripada tradisi keagamaan Barat yang tidak rasional dan menghalang kemajuan. Bagaimanapun hal yang sama tidak boleh diaplikasikan dalam konteks Islam kerana agama ini selaras dengan penemuan ilmu dan akal. Malah agama seperti Islam inilah yang sebenarnya diperlukan oleh akal.
Dalam usahanya mengangkat Islam sebagai agama tamadun itulah Afghani memberikan tumpuan istimewa kepada percerdasan akal dan kebebasan berfikir.Untuk itu Jamal al-Din cuba menghidupkan semula semangat ijtihad dan menolak budaya taklid. Dari satu segi Jamal al-Din mahu membawa umat kembali kepada sumber asli al-Quran dan al-Sunnah tanpa terikat dengan tafsiran tradisional. Dari segi lain Jamal al-Din mengimbau ke arah reformasi masyarakat Islam agar maju menyaingi Barat khususnya dalam bidang sains dan teknologi.
Keinginannya untuk membuktikan keserasian Islam dengan semangat dan pemikiran saintifik menjadikan Jamal al-Din seorang ‘rasionalis’ yang mahu menafsirkan agama sesuai dengan penemuan ilmiah. Menurutnya al-Quran tidak cuma sesuai dengan fakta sains, malah ia sendiri mengandungi isyarat maklumat saintifik yang dapat dibuktikan kebenarannya dengan kemajuan penyelidikan saintifik. Ini bererti Jamal al-Din memasuki daerah kontroversi sehingga menimbulkan dugaan pendekatan rasional dan saintifiknya yang membenihkan aliran saintisme dalam penafsiran al-Quran sebagaimana yang cuba dikembangkan kemudiannya oleh Tantawi Jawhari (Zaki Badawi, 8).
Andainya memang ada orang mengeskploitasikan pemikiran al-Afghani lebih daripada yang dimaksudkannya, itu adalah tanggungjawabnya sendiri. Sebagai seorang filasuf, tentu saja al-Afghani banyak menggunakan akal. Tetapi sebagai seorang Muslim Jamal al-Din sama sekali tidak bermaksud menundukkan Islam kepada rasionalisme-saintisme Barat. Bagaimanapun sikap mengunggulkan akal di tengah suasana kebekuan intelektual menjadikan al-Afghani seorang tokoh kontroversil. Ada pihak yang mempersoal iman dan amalnya. Dalam kaitan ini pemerhatian al-Shaykh Muhammad Abduh sebagai orang paling mengenalinya mungkin dapat menjelaskan keberagamaan al-Afghani. Menurutnya al-Afghani adalah seorang yang bertakwa dan warak, cenderung kepada tasawwuf, tekun melaksanakan kewajipan agama dan sangat kuat berpegang dengan mazhab Hanafi (Hourani, A. 155).
Sikap rasional al-Afghani itu sebenarnya dilatari keyakinannya terhadap anugerah Tuhan terhadap insan berbentuk kemampuan menerokai rahsia alam. Baginya alam ini adalah terbuka untuk akal manusia memahaminya, tidak ada daerah tertutup yang tidak dapat ditembusi akal. Dengan ketajaman akalnya yang begitu mengagumkan, pada zaman seawal itu Afghani sudah memikirkan kemungkinan pendaratan manusia di bulan dan planet lainnya. Ini terungkap dalam kata-katanya yang menanyakan: “Apakah mustahil akan tercipta alat yang boleh membawa manusia ke bulan dan jirim lainnya?” Apa yang difikir al-Afghani itu ternyata kemudiannya dapat direalisasikan oleh manusia pada 1961 (Muhammad ‘Imarah, 1984: 270 – 271).
Memang al-Afghani sangat menghargai sains dan teknologi. Baginya penguasaan terhadap ilmu itu adalah syarat mutlak untuk menyaingi Barat. Tetapi ini tidak bererti Jamal al-Din seorang accomodationist yang mengagumi sains Barat secara naif. Dalam hal ini Jamal al-Din sering dipertentangkan dengan Syed Ahmad Khan, tokoh modenis India yang banyak dikaitkan dengan aliran naturalisme Barat dan sikap lunak terhadap penjajah Inggeris.
Demikianlah orientasi keintelektualan al-Afghani
3. Pandangannya mengenai Politik
Bagaimanapun nama al-Afghani lebih tersohor sebagai ahli politik radikal yang digeruni kuasa imperialis Barat dan bonekanya di Timur. Dari segi idealisme politik al-Afghani masih sama dengan agamawan lain yang mengaspirasikan pemerintahan adil yang mengakui kedaulatan syariat. Berdepan dengan realiti kewujudan pelbagai daerah Islam di bawah pemerintah Islam yang berlainan, al-Afghani tidak memperlihatkan sebarang tanda dia menginginkan penubuhan sebuah kerajaan Islam tunggal. Memang Jamal al-Din ada menyebut soal khilafah.
Tetapi tidak jelas apa yang sebenarnya yang dimaksudkannya. Sebahagian peneliti menyatakan ia bermaksud penyatuan seluruh dunia Islam di bawah pimpinan seorang khalifah (Osman Amin, 1966: 1487).
Bagaimanapun sebahagian lain tidak melihatnya sebagai keinginan mengembalikan pemerintahan khilafah tunggal seperti yang pernah wujud pada zaman awal Islam. Ia hanya membawa maksud adanya semacam satu kuasa spiritual atau simbol kehormatan semata-mata (A Hourani, 146).
Memang al-Afghani pernah memperjuangkan pembentukan negara Islam tunggal di bawah al-khilafat al-’uzma. Ini berlaku ketika Jamal al-Din masih menaruh harapan terhadap Khilafah Uthmaniah (Sultan Abdul Hamid) untuk memimpin kebangkitan dunia Timur menentang penjajahan Barat. Tetapi selepas ternyata Sultan Abdul Hamid tidak dapat memenuhi harapan itu, al-Afghani kecewa lalu bersikap sinis terhadap khilafah ‘uzma, malah menentang kepemimpinan Sultan Abdul Hamid (Muhammad lmarah, 150 – 152).
Sebagai seorang aktivis politik yang realistik memang Jamal al-Din menyedari kesulitan menyatukan seluruh dunia Islam di bawah satu pemerintahan. Dengan demikian gerakan Pan-Islamisme yang dipeloporinya tidak bermaksud pembentukan sebuah negara Islam. Tetapi perpaduan dan kerjasama seluruh umat Islam terutama dari segi dasar luar dan pertahanan dengan matlamat menghadapi musuh bersama iaitu kuasa penjajah Barat.
Sebagai wadah perjuangan Pan-Islamisme membawa muatan cita-cita pembebasan umat daripada kehinaan dan kemiskinan yang ditimpakan penjajahan Barat. Selain kemerdekaan politik, Pan-Islamisme juga memperjuangkan kemerdekaan ekonomi sehingga kekayaan umat Islam dikembalikan kepada umat Islam dengan mencabut kuku penjajah yang mencengkam kekayaan sumber asli dunia Islam. Cita-cita pembebasan Pan-Islamisme meliputi pembebasan umat daripada fanatik kelompok. Di peringkat global al-Afghani memperjuangkan persefahaman antara agama terutama penganut rumpun agama Musa, Isa dan Muhammad yang pada hakikatnya sama dari segi teras ajarannya. Di peringkat nasional al-Afghani memperjuangkan perpaduan seluruh warganegara tanpa mengira agama.
Gagasan Pan-Islamisme al-Afghani tidak didasarkan perkiraan pragmatis semata-mata. Ia mempunyai asas doktrinal kukuh iaitu ikatan persaudaraan seagama. Semangat kesatuan ummatik keagamaan ini ditekankan begitu rupa sebagai suatu usaha membendung perkembangan nasionalisme yang diinspirasikan Barat, sejenis nasionalisme sekular berasaskan budaya, sejarah dan bahasa; dengan meremehkan asas keagamaan (Sharabi, H, 1970: 48).
Bagaimanapun dengan asas Pan-Islamismenya itu, al-Afghani tidak pula menafikan asas kesatuan lain yang sifatnya tabii seperti bangsa dan bahasa. Proses perkembangan pemikiran al-Afghani dari tahap ke tahap akhirnya sampai kepada pengharmonian di antara semangat persaudaraan Islam dengan nasionalisme yang sihat. Menurut al-Afghani manusia memang selamanya berlegar dalam lingkaran tiga bingkai dengan urutan berikut:
1. Lingkaran bingkai bangsanya;
2. Lingkaran bingkai agama anutannya; dan
3. Lingkaran bingkai kemanusiaan (jenis makhluk yang ia menjadi warganya).
Dengan meletakkan nasionalisme (semangat kebangsaan) dalam dua lingkaran yang lebih besar, ia selamanya terkawal dalam batas keagamaan dan kemanusiaan. Atas asas itu al-Afghani dapat menerima kewujudan negara nasional yang tergabung dalam bingkai induk Pan-Islamisme (Muhammad lmarah, 165).
Dengan asas pemikiran semangat kebangsaan sihat itu suatu yang fitri dan oleh itu ia tidak bertentangan dengan Islam, al-Afghani mempertahankan Arabisme (‘urubah) dalam erti ciri khas keunggulan bangsa Arab.
Ini dinyatakannya ketika mendebat Ernast Renan yang mendakwa mentaliti Arab secara tabii memang tidak berpotensi dalam bidang ilmu dan falsafah. Al-Afghani membuktikan keunggulan bangsa Arab dengan merujuk kegemilangan tamadun ilmunya yang meratai seluruh daerah yang dikuasainya, lalu menjalar hingga ke Eropah.
Di Mesir Jamal al-Din mempelopori gerakan kebangsaan dengan menubuhkan al-Hizb al-Wataniy (Parti Tanah Air) yang berslogan al-Misr li al-Misr li al-Misriyyin (Mesir untuk rakyat Mesir). Memang ia amat mencintai bumi Mesir yang disifatkannya pintu al-Haramyn. Dengan catatan itu tampak sikapnya terhadap patriotisme. Memang al-Afghani bersemangat patriotik dan sekali gus mempertahankan patriotisme yang sihat; patriotisme dalam erti semangat cintakan tanah air yang terkawal dalam bingkai keagamaan dan kemanusiaan. Patriotisme dengan takrif yang demikian itu, dibezakannya daripada patriotisme sempit yang fanatik terhadap sesuatu daerah atau sesuatu bangsa sehingga tidak mempedulikan untung nasib daerah dan bangsa lain.
Al-Afghani melihat patriotisme keagamaan dan kemanusiaan itu sebagai kekuatan penting terutama dalam menghadapi penjajahan. Kerana itu pulalah Jamal al-Din menganjurkan pendidikan patriotik yang berteraskan pemupukan semangat cintakan tanahair (Muhammad ‘Imarah, 167 – 168).
Demikianlah nasionalisme dan patriotisme versi al-Afghani mengalami transformasi konseptual sehingga senada dengan agama. Memang nasionalisme tidak mempunyai takrif baku dan beku. Ia sentiasa mengalami perubahan erti dan isi mengikut perubahan sejarah dan daerah. Dalam era kolonial, nasionalisme Asia rata-rata bererti dan berintikan perjuangan menentang penjajahan. Dengan demikian kepeloporan al-Afghani dalam kebangkitan nasionalisme Asia adalah fakta yang tidak dapat diingkari
4. Pandangannya mengenai Etika
Pandangannya ini terlihat dari kritiknya terhadap materialisme. Baginya materialis mencoba untuk meruntuhkan pondasi pokok masyarakat manusia. Mereka berusaha merusak ‘Benteng kebahagiaan” bangunan masyarakat yang ditopang atas enam pillar agama.
Tiga pillar merupakan kepercayaan dan tiga lainnya merupakan kualitas sifat-sifat. Tiga kepercayaan itu adalah pertama bahawa manusia merupakan khalifah Tuhan di muka bumi, kedua kepercayaan bahwa komunitas seseorang merupakan yang paling mulia baik dalam rasa memiliki dunia manusia melawan kerajaan binatang dan tumbuhan maupun rasa memiliki sebagai manusia terbaik dan masyarakat agamis. Ketiga percaya ajaran –ajaran agama menentukan agar manusia mampu mencapai dunia tertinggi. Pembawaan lahirnya memungkinkan mentransendensikan kesemataan materi dan menyadari realita spiritual yang ada di dalam.
Agama menanamkan tiga kualitas etika bagi para pengikutnya.Pertama apa yang oleh Afghani disebut sebagai “modesty” (haya’) ,yang merupakan rasa malu untuk berbuat dosa terhadap Tuhan maupun manusia. Kemulian jiwa itu berkembang sesuai dengan tingkat haya’nya. Afghani menyadari bahwa kualitas etika ini merupakan bagian mendasar bagi keteraturan etis dan social masyarakat. Kedua adalah amanah ( dapat dipercaya) yang mendasari bagi struktur masyarakat.
Kelestarian peradaban manusia tergantung pada saling respek dan kepercayaan, yang tanpanya niscaya suatu masyarakat tidak akan dapat meraih kestabilan politik maupun kemakmuran ekonomi. Ketiga siafat yang disebarkan oleh agama adalah keterusterangan dan kejujuran ,myang bagi Afghani merupakan dasar kehidupan social dan kesetiakawanan (solidaritas).
Lewat enam pilar ini Afghani mendasarkan agama sebagai pondasi pembentukan peradaban dan menyatakan materialisme sebagai musuh agama dan masyarakat.
Karya Karyanya
1.Al-Ta’liqat ‘ala sharh al-Dawwani li’l-‘aqa’id al-‘adudiyyah (Cairo, 1968). Afghani’s glosses over Dawwani’s commentary on the famous kalam book of ’Adud al-Din al-‘Iji called al-‘aqa’id al-‘adudiyyah.
2.Risalat al-waridat fi sirr al-tajalliyat (Cairo, 1968). A work dictated by Afghani to his student M. ‘Abduh when he was in Egypt.
3.Tatimmat al-bayan (Cairo, 1879). A political, social and cultural history of Afghanistan.
4.Hakikat-i Madhhab-i Naychari wa Bayan-i Hal-i Naychariyan. First published in Haydarabad-Deccan, 1298/1881, this is Afghani’s most important intellectual work that he published during his lifetime. It is a scathing criticism and total rejection of naturalism which Afghani also calls ‘materialism’. The book has been translated into Arabic by M. ‘Abduh as al-Radd ‘ala al-dahriyyin (The Refutation of the Materialists).
5.Khatirat Jamal al-Din al-Afghani al-Husayni (Beirut, 1931). A book compiled by the Lebanese journalist Muhammad Pasha al-Mahzumi. Mahzumi was present in most of Afghani’s talks in the last part of his life and developed his conversations in to the present book. The book contains important information about Afghani’s life and ideas.
Implikasi Pemikiran al Afghani
Dalam lingkungan Islam, al-Afghani menduduki tempat istimewa dalam deretan zu’ama’ al-islah, pelopor gerakan islah. Gagasan Islah al-Afghani tidak cuma berlegar di permukaan, tetapi menyentuh dasar kehidupan umat hingga ke dimensi paling dalam, iaitu islah al-uqul wa al-nufus, reformasi jiwa dan minda. Sesudah itu disusul pula dengan islah al-hukumah, reformasi politik-pemerintahan (Ahmad Amin, 1948: 59). Reformasi gaya Afghani adalah islah dalam pengertian kembali kepada keaslian dan kemurnian agama dengan ruang liputannya yang mencakupi bidang agama, sosial dan politik. Umat Islam ketika itu memang memerlukan reformasi besar-besaran. Bagi Afghani gerakan reformasi umat harus berpangkal daripada reformasi keagamaan
Karir Afghani sebagai pemikir dan aktifis sungguh mempunyai pengaruh dalam terhadap dunia Islam dan terus berlangsung hingga saat ini sebagai sumber inspirasi maupun kontroversinya. Proyek modern Islam Afghani dikembangkan lewat kuliah-kuliah, politik dan esay pendeknya serta dalam kolom – kolom koran, didasarkan pada ide mencari suatu modus vivendi antara tradisi budaya Islam dan tantangan filsafat serta sain modern barat. Tidaklah salah mengatakan bahwa Afghani mengambil posisi tengah antara pengikut westernisasi buta dengan sepenuhnya menolak barat oleh “ulama” tradisional. Pemikiran afghani banyak ditiru aktifis dan pemikir saat itu bahwa sains dan teknologi barat dapat ditiru oleh dunia Islam tanpa harus mengambil konsekuensi teologi maupun filosofi yang membahayakan dalam penerapannya oleh barat tersebut.
Program politik Pan Islam (ittihad- Islam) Afghani telah mampu memobilisasi kaum muslim untuk berjuang melawan imperialisme barat dan agar dapat memperoleh kekuatan militer lewat teknologi modern.Seruan Afghani untuk memerdekakan bagi setiap negara/bangsa muslim merupakan factor kunci pengembangan “nasionalisme Islam” dan memberikan pengaruh bagi beberapa figure muslim semacam Muhammad Iqbal, Muhammad Ali Jinnah dan Abul Kalam Azad di anak benua India. Dan Namik Kemal, Said Nursi dan Mehmet Akif Ersoy di Turki Usmani. Akhirnya pada abad 20, Afghani merupakan sumber utama inspirasi bagi gerakan revivalisme seperti Muslim Brethen di Mesir dan jama’at Islami di Pakistan. Afghani juga memberikan pengaruh mendalam bagi beberapa pemikir Mesir termasuk Muhammad Abduh, Rashid Rida, ‘Ali ‘Abd al Razik, Qasim Amin, Lutfi al Sayyid dan Osman Amin.
Dalam konteks ini kebangkitan nasionalisme Melayu moden sebenarnya terkait dengan gerakan islah Jamal al-Din al-Afghani. Awal abad ke-20 dalam sejarah umat Melayu dicatat sebagai era yang bergelora dengan gerakan pembaharuan ‘Kaum Muda’ membedah penyakit umat dan mengangkat martabat mereka dengan anjuran kembali kepada kemurnian dan keaslian Islam, mencerdaskan pemikiran menerusi amalan ijtihad dan penolakan taklid. Gerakan reformasi keagamaan yang diilhami pemikiran islah Afghani-’Abduh-Ridha itu kemudiannya diangkat oleh sarjana sebagai tahap awal (tahap keagamaan) kebangkitan nasionalisme Melayu moden.
Al Afghani dengan sengaja menggunakan berbagai argument dalam berbagai kondisi yang berbeda untuk mendorong keragman penafsiran-penafsiran. Warisannya tentang penafsiran ulang Islam dalam bingkai modernis, pragamtis, langsung anti – imperialis dan aktivitas politiknya merupakan hal yang sangat penting bagi dunia muslim modern.
Apapun kenyataan dan kontroversial biografinya seseorang tidak dapat memungkirinya sumbangan dan pentingnya al Afghani bagi pemikiran modern dunia Islam maupun even-even penting lainnya. Bagi beberapa penulis misalnya John L Esposito13 atau Aziz al Azmeh14 atau Husayn Ahmad Amin15 Ia sesungguhnya bukanlah seorang intelektual yang menulis berkelebihan atau yang ingin bekerja keras dengan system teori yang komplek. Ia lebih merupakan seorang yang mencomot, mengkombinasikan dan mengembangkan sejumlah tema-tema yang sudah ada sehingga menjadi keseluruhan kisah. Ia bukan pula sebagai pemikir besar, tapi –letak kebesarannya saya kira- ia merupakan pembicara yang potensial dan seorang konspirator yang penuh karisma, serta memiliki kepribadian yang mampu mengobarkan dan membangkitkan semangat dunia Islam.
Ia tidak mengeluarkan pemikian baru, ia tidak meninggalkan tulisan yang bernilai tinggi dalam bidang agama atau filsafat miski ia menguasai kedua bidang ini. Berikut ini beberapa point penting aktifitas al Afghani yang dapat diidentifikasikan.
Dari filsafat Islam tradisional al Afghani menggambar suatu kepercayaan pada akal sehat dan hukum alam, dan ketuhanan yang tidak bertentangan dengan hal-hal ini. Latar belakang filsafat muslim, dengan baik didokumentasikan dalam teks-teks yang ditandai untuk pengajarannya di Mesir, mengijinkan al Afghani untuk memberikan pengajaran modernnya sebuah dasar keislaman.
Penutup
Al Afghani bukan yang mula-mula, ia juga sesungguhnya, bukanlah pemikir besar, filsuf atau apapun, namun ia lebih merupakan inspirator bagi muslim lainnya untuk terus berkiprah membebaskan diri dari cengkeraman imperialisme Barat. Tulisannya mengilhami dan mendorong orang untuk bertindak, ucapannya membuat orang bersemangat, gerakannya menjadi anutan bagi banyak orang. Semangatnya menjadi obor bagi lainnya. Ia lebih merupakan tokoh gerakan. Wallahu A’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Syafi’I Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung, Mizan, 1993, hal. 84
Aziz Al-Azmeh, Islams and Modernities, London: Verso, 1993
Husayn Ahmad Amin,Seratus tokoh dalam Sejarah Islam, Jakarta:Remaja Rosdakarya, 2001
H. Mukti Ali . Alam Pemikiran Modern di India dan Pakistan, Bandung, Mizan
Ensiklopedi Islam,.
John L. Esposito, Encyclopedia Islam
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Semoga bermanfaat, amin
Assalamualaikum Wr.Wb.
Saudaraku se-Iman dimanapun berada, mari bersama-sama bersyukur kepada Allah SWT atas berbagai nikmat tak terhitung jumlah ini. dengan cara meningkatkan amalan-amalan ibadah lain agar kita terjaga dari azab Allah SWT, amin.
Mari kita sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW selawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat dan hingga kita semua semoga bisa istiqomah daam mengamalkan risalah-Nya. Amin.
Saudaraku, perlu kita mengetahui tentang peradaban barat modern dimulai sejak munculnya renaissance sebagai angka perbandingan kita semuya.
Bahwa gelombang renaissance menyinari peradaban barat setelah berabad-abad tenggelam dalam kebodohan dan kungkungan gereja. Renaisance barat ini berkembang begitu pesat dengan dukungan revolusi teknologi dan industri tahun 1890-an.
Dampak dari renaissance dan revolusi industri telah mengubah peta kekuatan dunia dan memberikan pengaruh yang luar biasa hebat pada peradan dunia khususnya.
Islam yang setelah sekian lama menggenggam kejayaan, yang akhirnya runtuh seakan tak berdaya dan terkagum-kagum memandang peradaban barat. Ada beberapa sikap yang muncul dalam umat Islam menghadapi modernisasi barat. Secara umum sikap itu bias dibedakan menjadi tiga macam. Menolak segala yang berbau barat, menerima semua yang barat dengan segal resikonya dan terakhir mengadopsi sisi kebaikan barat.
Kejatuhan umat Islam secara historis dimulai semenjak abad ke-15, sekalipun di bidang politik dan militer umat Islam masih unggul, tetapi di bidang pemikiran dan intelektualisme umat Islam telah memasuki proses pembekuan diri. Karya-karya kreatif bernilai tinggi tidak lagi bermunculan, terutama di dunia Sunni.
Mulai abad ke-16 kultur yang berkembang di dunia Muslim seperti yang diungkapkan oleh Bassam Tibi, sarjana Muslim Jerman asal Suria yang kemudian dikutip oleh oleh A. Syafi’I M 1, adalah kultur bertahan ( defensive culture)
Situasi ini diperparah dengan kesimpulan penelitian dua orientalis kenamaan: Ernast renan (Perancis) dan Wlilliam Muir (Inggris) yang mengatakan bahawa keterbelakangan umat Islam adalah karena peradabannya yang inferior (berkualitas rendah ) dan ini berkait dengan agama mereka yang inferior.
Jamaluddin al Afghani -sebagaimana yang akan dipaparkan berikut ini – dan Namik Kemal telah membantah semua tuduhan ini. Keadaan ini berlangsung kira-kira sekitar lima abad. Masa-masa kejatuhan ini telah dimanfaatkan oleh pihak Barat untuk menguasai hampir seluruh dunia Islam di Asia dan Afrika , dua benua tempat mayoritas umat Islam.
Selama masa imperialisme Barat terhadap dunia islam ini , umat Islam selalu mengadakan perlawanan, namun perlawanan ini tidak begitu bermakna, karena pihak Barat teralu unggul di dalam bidang ilmu dan teknologi modern termasuk teknologi senjata dan perang. Puncak dominasi Barat terhadap dunia Islam terjadi pada abad ke-19, suatu abad yang kemudian sekaligus juga menjadi titik balik dalam sejarah hubungan Barat dan Islam.
Tali lasso, istilah Toynbee yang dipinjam oleh A. Syafi’I M 2, yang diikatkan di leher umat Islam berangsur mulai dilepaskan. Umat Islam mulai sadar akan situasi keterbelakangannya. Kemudian sesudah perang Dunia II kebanyakan negeri Muslim berhasil memperoleh kemerdekaannya, baik lewat perjuangan bersenjata maupun diplomasi
Kemerosotan Islam dalam berbagai bidang dimulai semenjak abad sembilan belas. Imperalisme modern telah memporakporandakan Islam. Betapa tajam perbedan Islam dan barat dari sisi peradaban atau kemajuan yang telah dicapainya. Banyak orang-orang Islam yang berkesempatan ke barat begitu tercengang dengan peradaban barat.
Mukti Ali melukiskan betapa kontrasnya antara kemajuan di dunia barat dengan dunia Islam saat itu dengan mengutip Sir Sayyid Ahmad Khan yang berkesempatan mengunjungi London, ia menulis ” tinggi dan rendah, saudagar dan penjual di took-toko, terdidik dan buta huruf, apabila dibandingkan dengan Inggris dalam pendidikan, tingkah laku dan kejujuran penduduk pribumi itu adalah seperti hewan kotor dibandingkan dengan orang yang cakap lagi gagah “.
Prestasi luar biasa modernisasi barat saat ini merupakan buah perjalanan panjang dari abad Renaisance pada abad ke-16, dilanjutkan dengan zaman pencerahan pada abad ke-18, Revolusi industri, ilmu dan teknologi yang berjalan dengan pesat sejak tiga (3) abad terakhir ini telah mengantarkan manusia pada perubahan yang tidak terbayangkan sebelumnya.4
Berhadapan dengan tantangan ilmu dan teknologi modern yang bertumpu pada landasan modernitas, jawaban yang diberikan oleh sarjana Muslim secara kasar dapat dibedakan menjadi tiga tipologi:
Pertama, kelompok modernis dan penerusnya neo-modernis Muslim. Tokohnya adalah al Afghani, Abduh, Ahmad Khan, Syibli Nu’mani. Namik Kemal, Ziya Golkap, Iqbal, H. Agus Salim, M. Natsir, Hamka, Amir Syakib Arsalan, Muhammad Asad, Fadlurrahman, Ali Syari’ati dan juga Ismail raj’I al Faruqi serta Muhammad Arkoun.
Kelompok ini terkenal sebagai pembela prinsip ijtihad sebagai metode untuk menerobos kebekuan berpikir umat Islam. Mereka memberikan kritik kepada ulama tradisional karena sikap ulama tradisional yang begitu terpukau oleh pemikira klasik yang begitu gemilang dan kaya sehingga visi mereka terhadap al Qur’an bahkan disilaukan oleh tradisi yang kaya tersebut.Kelompok ini juga selektif dan kritis terhadap barat. Gagasan dari Barat yang baik mereka ambil dan dibingkai dengan Islam.
Kedua, kelompok neo-tradisionalis dengan kecenderungan yang kental bercampur dengan filsafat. Mereka umumnya muncul setelah Perang Dunia II. Tokohnya antara lain: F. Schoun, Hamid Algar, Roger Garaudy, Martin Lings (adalah sarjana barat yang menjadi muslim), Hossen Nasr, Muhammad Naquib al Attas.
Kelompok kedua ini menilai tradisi filsafat dan sufi dalam pemikiran Islam sebagai sah belaka yang tidak perlu dikritisi sebagaimana dicanangkan oleh kelompok pertama. Bahkan kelompok kedua ini juga tidak berbicara tetang kaitan Islam dengan politk seperti yang dilakukan oleh kelompok pertama. Hubungannya dengan barat, kelompok kedua ini memandanga bahwa peradaban barat modern telah tercerabut dari akar spiritual-transendental, dan telah sepenuhnya bercorak antroposentris.
Ketiga, keolompok yang serba eksklusif Islam yang menjadikan Islam terutama sebagai ideologi politik. Mereka sangat anti Barat. Tokohnya adalah Abu A’la al Maududi, Sayyid Qutb dan dlam batas tertentu Ayatullah Khomeini. Mereka hendak menawarkan Islam yang belum tercemar peradaban dalam penilaian mereka.
Keempat, kelompok modernis sekularis Muslim. Diantaranya adalah Ali Abd Raziq, Kemal al Taturk, Sukarno, Bassam Tibi, Abdullah Laroui, Detlev H Khalid, termasuk pula Abul Kalam Azad. Kelompok ini memandang bahwa agama cukup sebagai sistem etika .Bila dunia Islam hendak beranjak dari pra-industri yang serba terbelakang, maka satu-satunya pilihan yang harus ditempuh adalah melepaskan agama dari panggung politik.5
Berikut ini akan dilihat tipe sosok al Afghani, kehebatan dan kontribusi al Afghani dalam usahanya memajukan umat Islam, membebaskannya dari belenggu imperialisme, pikiran-pikirannya, gerakan-gerakannya. Pandangannya tentang kondisi (intelektualisme, teologi, ibadah,politik, dan aspek lainnya) umat Islam. Pandangnnya terhadap Barat (agresivitas, kemajuan).
Sosok al Afghani (kehidupan dan aktifitasnya )
Oleh Husayn Ahmad Amin,6 Jamaluddin al Afghani (1838-1897) dimasukkan dalam seratus tokoh dalam sejarah Islam. Ia merupakan seorang filosof, penulis, orator dan wartawan, juga sebagai politikus yang merupakan roda penggerak kebangkitan Islam abad 19 Masehi. Ia juga merupakan inspirasi bagi gerakan-gerakan kemerdekaan di Negara-negara Islam zamannya. Ia dilahirkan pada 09 Maret 1897. Terdapat versi yang berbeda mengenai tempat kelahirannya, menurut pengakuannya, ia dilahirkan di Asadabad, suatu desa di Konar, wilayah distrik Kabul Afghanistan. Versi lainnya menyebutkan bahwa ia dilahirkan di Asadabad dekat Hamadan, Persia ( Iran ). Kesimpangsiuran ini terkait dengan dua aliran besar Islam yakni Sunni dan Syi’i. 7
Informasi yang diberikan oleh John. L.Esposito 8 menyatakan bahwa al Afghani berasal dari Iran, berdasarkan bukti dokumen ketika ia dikeluarkan dari Iran dan juga ketika di Afghanistan ia berbicara sebagai orang asing yang dulunya tidak dikenal di Afghanistan dan berbicara Persia layaknya orang Iran. Konon pengakuannya sebagai orang Afghanistan demi menyelamatkan dirinya dari penguasa Iran yang tidak senang terhadap dirinya.
Sunni Muslim tampak segan untuk mengakui bahwa al Afghani berasal dari kalangan Sy’I Iran. Bagaimanapun ia melakukan perlindungan diri dari tradisi Syi’i dan takut ketahuan identitas Irannya. Lebih dari itu, ia tahu bahwa ia sedikit memberikan pengarauh bila diduga dari Syi’i Iran. Tidak ada bukti bahwa ia secara internal mengidentifikasikan dirinya sebagai Syi’i, dan pemikiran Pan-Islamnya memasukkan reduksi konflik Sunni-Syi’i.
Ia menghabiskan masa kecil dan remaja di Afghanistan. Di kampungnya ia mulai mendapatkan pendidikannya yang dilanjutkan di Kabul dan Iran. Di Kabul ketika berumur 18 tahun ia mempelajari beberapa cabang ilmu keislaman di samping belajar filsafat dan eksakta. 9 Namun menurut John L.Esposito 10, beberapa dokumen mengindikasikan bahwa al Afghani memperoleh pendidikan di desanya Asadabad sebelah barat laut Iran, juga di Qazvin dan Tehran. Kemudian ia melanjutkan pendidikan tingginya tahun1850-an di kota suci Syi’i di Ottoman Iraq. Buku-buku dan tulisan al Afghani juga mengkonfirmasikan adanya pengaruh filusuf Islam rasionalis , khususnya seperti beberapa pemikir Iran seperti Ibnu Sina dan Nasir al Din Tusi.
Ia menuju Mesir tahun 1871 kemudian menetap di Kairo dan mulai memusatkan perhatiannya pada ilmu pengetahuan dan sastra Arab. Rumahnya dijadikan tempat pertemuan murid-murid dan pengikut-pengikutnya. Di sini ia memberikan kuliah dan mengadakan diskusi yang diikuti orang-orang terkemukan dalam bidang pengadilan, dosen-dosen, mahasiswa dan juga pegawai-pegawai pemerintah. Muhammad Abduh, Abd Allah Nadim, Sa’ad Zaglul, dan Ya’qub Sannu’ pemimpin kemerdekaan Mesir, adalah murid-murid Jamal al Din Al Afghani.11 Ia juga mengorganisir perkumpulan al Uratul wutsqa di Paris yang akhirnya menerbitkan majalah dengan nama yang sama.
Ia juga menjadi anggota dewan pendidikan dan dosen di universitas baru daerah Tanzimat dan banyak memberikan kuliah umum, namun pandangan-pandangannya seringkali bertolak belakang dengan pandangan ulama konservatif yang menyerangnya dan universitasnya.12
Al Afghani banyak melakukan lawatan ke berbagai negara semisal Istanbul, Tehran, Kabul, Hyderabad, Calcutta, Kairo, London, Paris dan St Pettersburg. Keterlibatannya dalam berbagai gerakan politik di berbagai Negara tersebut menjadikan senantiasa mendapatkan pengusiran dari penguasa. Itulah diantaranya yang menyebabkan mengapa ia selalu berpindah-pindah.
Pada usia duapuluh tahun ia diangkat menjadi pembantu Pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Tahun 1984 Menjadi penasehat Sher Ali Khan dan beberapa tahun kemudian diangkat menjadi perdana menteri oleh Muhammad A’zam Khan. Di Mesir tahun 1876 ia kembali terjun ke dunia politik, ia memasuki perkumpulan Freemason. Dan membentuk partai Hizb al Watan untuk menanamkan rasa nasionalisme di kalangan rakyat Mesir.
Kontribusinya Pada Dunia Islam
1. Pandangannya terhadap Islam dan Barat
Isu pokok yang cuba ditangani oleh al-Afghani ialah kemunduran dan kelemahan umat Islam terutama dalam kaitannya dengan kuasa Barat. Jamal al-Din menelusuri akar punca kehilangan dinamika umat Islam itu dan menemukannya pada pencemaran ajaran Islam yang dilakukan oleh kaum zindiq, kalangan sufi, golongan sophist dan pemalsu hadis. Dengan demikian tulisan al-Afghani rata-rata memusat pada tema pemurnian agama dengan menekankan dinamika dan daya dorongnya ke arah kemajuan. Dengan semangat itulah Jamal al-Din membicarakan isu seperti Kadak dan Kadar, peranan akal, ilmu dan sebagainya. Dengan semangat itu jugalah Jamal al-Din menulis karya sanggahannya seperti al-Radd ‘ala al-Dahriyyin (Sanggahan terhadap Golongan Materialis/Naturalis) dan polemiknya dengan Ernast Renan mengenai Islam dan ilmu.
Al-Radd ‘ala al-Dahriyyin adalah satu-satunya karya falsafah al-Afghani yang dihasilkan ketika menjalani pengasingan di India. Kelahirannya dilatari suasana kekalutan umat di benua kecil itu menanggapi isu yang dinamakan faham nechari. Kerana rasa tanggungjawab intelektualnya yang sangat mendalam al-Afghani tidak dapat mengelak daripada memberikan reaksinya. Menurutnya memang ajaran Islam itu rasional. Tetapi kebenarannya tidak tertakluk kepada kesesuainnya dengan nature (alam) semata-mata. Islam itu benar kerana ia adalah wahyu Ilahi (K. Cragg, 1965, 34 – 35).
Selain itu yang sangat ditekankannya adalah peranan agama dalam mengangkat martabat manusia dan membangun tamadunnya. Dalam kaitan itu Islam diperlihatkan sebagai agama paling lengkap dengan ramuan asasi bagi pembangunan tamadun yang unggul. Islam membekalkan manusia dengan akidah tauhidi yang membebaskannya daripada belenggu segala kepercayaan, mitos dan dongeng yang tidak rasional. Islam memberikan harga diri kepada manusia sebagai makhluk terunggul di bumi.
2. Pandangannya mengenai akal dan Agama
Ia juga memberikan akal manusia ruang berperanan secukupnya di samping memupuk sifat keinsanan terpuj
Di samping melakukan islah dalaman, al-Afghani juga gigih menangani cabaran luaran, baik cabaran intelektual mahupun politik. Antara yang banyak mendapat perhatiannya ialah dialog intelektualnya dengan Ernest Renan di Paris pada 1883. Ia berpangkal daripada ceramah provokatif E Renan mengenai ‘Islam dan ilmu’ yang disampaikannya di Sorbonne pada Mac tahun itu yang kemudiannya disiarkan dalam Journal Des Debats.
Antara lain E Renan mendakwa Islam tidak sejalan dengan ilmu, dengan implikasi Islam memang tidak berupaya membangun tamadun. Mengenai ilmu dan falsafah Arab yang pernah menyubur dalam tamadun Islam itu Renan berpendapat ia bukanlah hasil asli intelektualisme Arab. Yang Arab hanya bahasanya, sedang isinya adalah Yunani. Jamal al-Din membuktikan semangat antiilmu itu dengan merujuk realiti kemunduran dunia Islam kontemporer di samping catatan sejarah tekanan penguasa dan agamawan terhadap golongan ilmuwan. Dalam hal ini Renan menyamakan Islam dengan Kristian dari segi kongkongannya terhadap perkembangan ilmu.
Realiti kemunduran umat Islam itu memang terpaksa diakui, tetapi al-Afghani menyifatkannya sebagai fenomena sementara. Islam hanya memerlukan suatu gerakan reformasi untuk kembali segar dan mampu berfungsi sebagai wahana kebangkitan tamadun umat. Samalah dengan pengalaman Kristian dengan reformasi Lutheriannya. Dalam kaitan inilah timbulnya dugaan yang al-Afghani sendiri mungkin menyimpan hasrat untuk menjadi semacam ‘Luther’ dalam konteks yang Islami.
Al-Afghani juga mempertahankan keaslian tamadun Islam zaman silam.Menurutnya tamadun keilmuan akliah yang pernah menyemarak itu memang sesungguhnya berciri Islanmi dan Arab. Meskipun sebahagian daripada tokoh ilmuwan yang membintangi era itu berlatar keturunan bukan Arab, tetapi mereka berkarya dalam bahasa Arab. Menurut al-Afghani bahasalah yang membentuk sesuatu umat dan membezakannya daripada yang lain. Dengan demikian tokoh ilmuwan seperti Ibn Sina dapat dianggap sebagai orang Arab dan seterusnya ilmu yang diekspresikan dalam bahasa Arab diterima sebagai ilmu Arab (A Hourani, 1968: 153).
Al-Afghani mewajarkan pelepasan ilmu dan pemikiran Barat daripada kawalan agama. Baginya sekularisasi memang seharusnya berlaku sebagai akibat logik daripada tradisi keagamaan Barat yang tidak rasional dan menghalang kemajuan. Bagaimanapun hal yang sama tidak boleh diaplikasikan dalam konteks Islam kerana agama ini selaras dengan penemuan ilmu dan akal. Malah agama seperti Islam inilah yang sebenarnya diperlukan oleh akal.
Dalam usahanya mengangkat Islam sebagai agama tamadun itulah Afghani memberikan tumpuan istimewa kepada percerdasan akal dan kebebasan berfikir.Untuk itu Jamal al-Din cuba menghidupkan semula semangat ijtihad dan menolak budaya taklid. Dari satu segi Jamal al-Din mahu membawa umat kembali kepada sumber asli al-Quran dan al-Sunnah tanpa terikat dengan tafsiran tradisional. Dari segi lain Jamal al-Din mengimbau ke arah reformasi masyarakat Islam agar maju menyaingi Barat khususnya dalam bidang sains dan teknologi.
Keinginannya untuk membuktikan keserasian Islam dengan semangat dan pemikiran saintifik menjadikan Jamal al-Din seorang ‘rasionalis’ yang mahu menafsirkan agama sesuai dengan penemuan ilmiah. Menurutnya al-Quran tidak cuma sesuai dengan fakta sains, malah ia sendiri mengandungi isyarat maklumat saintifik yang dapat dibuktikan kebenarannya dengan kemajuan penyelidikan saintifik. Ini bererti Jamal al-Din memasuki daerah kontroversi sehingga menimbulkan dugaan pendekatan rasional dan saintifiknya yang membenihkan aliran saintisme dalam penafsiran al-Quran sebagaimana yang cuba dikembangkan kemudiannya oleh Tantawi Jawhari (Zaki Badawi, 8).
Andainya memang ada orang mengeskploitasikan pemikiran al-Afghani lebih daripada yang dimaksudkannya, itu adalah tanggungjawabnya sendiri. Sebagai seorang filasuf, tentu saja al-Afghani banyak menggunakan akal. Tetapi sebagai seorang Muslim Jamal al-Din sama sekali tidak bermaksud menundukkan Islam kepada rasionalisme-saintisme Barat. Bagaimanapun sikap mengunggulkan akal di tengah suasana kebekuan intelektual menjadikan al-Afghani seorang tokoh kontroversil. Ada pihak yang mempersoal iman dan amalnya. Dalam kaitan ini pemerhatian al-Shaykh Muhammad Abduh sebagai orang paling mengenalinya mungkin dapat menjelaskan keberagamaan al-Afghani. Menurutnya al-Afghani adalah seorang yang bertakwa dan warak, cenderung kepada tasawwuf, tekun melaksanakan kewajipan agama dan sangat kuat berpegang dengan mazhab Hanafi (Hourani, A. 155).
Sikap rasional al-Afghani itu sebenarnya dilatari keyakinannya terhadap anugerah Tuhan terhadap insan berbentuk kemampuan menerokai rahsia alam. Baginya alam ini adalah terbuka untuk akal manusia memahaminya, tidak ada daerah tertutup yang tidak dapat ditembusi akal. Dengan ketajaman akalnya yang begitu mengagumkan, pada zaman seawal itu Afghani sudah memikirkan kemungkinan pendaratan manusia di bulan dan planet lainnya. Ini terungkap dalam kata-katanya yang menanyakan: “Apakah mustahil akan tercipta alat yang boleh membawa manusia ke bulan dan jirim lainnya?” Apa yang difikir al-Afghani itu ternyata kemudiannya dapat direalisasikan oleh manusia pada 1961 (Muhammad ‘Imarah, 1984: 270 – 271).
Memang al-Afghani sangat menghargai sains dan teknologi. Baginya penguasaan terhadap ilmu itu adalah syarat mutlak untuk menyaingi Barat. Tetapi ini tidak bererti Jamal al-Din seorang accomodationist yang mengagumi sains Barat secara naif. Dalam hal ini Jamal al-Din sering dipertentangkan dengan Syed Ahmad Khan, tokoh modenis India yang banyak dikaitkan dengan aliran naturalisme Barat dan sikap lunak terhadap penjajah Inggeris.
Demikianlah orientasi keintelektualan al-Afghani
3. Pandangannya mengenai Politik
Bagaimanapun nama al-Afghani lebih tersohor sebagai ahli politik radikal yang digeruni kuasa imperialis Barat dan bonekanya di Timur. Dari segi idealisme politik al-Afghani masih sama dengan agamawan lain yang mengaspirasikan pemerintahan adil yang mengakui kedaulatan syariat. Berdepan dengan realiti kewujudan pelbagai daerah Islam di bawah pemerintah Islam yang berlainan, al-Afghani tidak memperlihatkan sebarang tanda dia menginginkan penubuhan sebuah kerajaan Islam tunggal. Memang Jamal al-Din ada menyebut soal khilafah.
Tetapi tidak jelas apa yang sebenarnya yang dimaksudkannya. Sebahagian peneliti menyatakan ia bermaksud penyatuan seluruh dunia Islam di bawah pimpinan seorang khalifah (Osman Amin, 1966: 1487).
Bagaimanapun sebahagian lain tidak melihatnya sebagai keinginan mengembalikan pemerintahan khilafah tunggal seperti yang pernah wujud pada zaman awal Islam. Ia hanya membawa maksud adanya semacam satu kuasa spiritual atau simbol kehormatan semata-mata (A Hourani, 146).
Memang al-Afghani pernah memperjuangkan pembentukan negara Islam tunggal di bawah al-khilafat al-’uzma. Ini berlaku ketika Jamal al-Din masih menaruh harapan terhadap Khilafah Uthmaniah (Sultan Abdul Hamid) untuk memimpin kebangkitan dunia Timur menentang penjajahan Barat. Tetapi selepas ternyata Sultan Abdul Hamid tidak dapat memenuhi harapan itu, al-Afghani kecewa lalu bersikap sinis terhadap khilafah ‘uzma, malah menentang kepemimpinan Sultan Abdul Hamid (Muhammad lmarah, 150 – 152).
Sebagai seorang aktivis politik yang realistik memang Jamal al-Din menyedari kesulitan menyatukan seluruh dunia Islam di bawah satu pemerintahan. Dengan demikian gerakan Pan-Islamisme yang dipeloporinya tidak bermaksud pembentukan sebuah negara Islam. Tetapi perpaduan dan kerjasama seluruh umat Islam terutama dari segi dasar luar dan pertahanan dengan matlamat menghadapi musuh bersama iaitu kuasa penjajah Barat.
Sebagai wadah perjuangan Pan-Islamisme membawa muatan cita-cita pembebasan umat daripada kehinaan dan kemiskinan yang ditimpakan penjajahan Barat. Selain kemerdekaan politik, Pan-Islamisme juga memperjuangkan kemerdekaan ekonomi sehingga kekayaan umat Islam dikembalikan kepada umat Islam dengan mencabut kuku penjajah yang mencengkam kekayaan sumber asli dunia Islam. Cita-cita pembebasan Pan-Islamisme meliputi pembebasan umat daripada fanatik kelompok. Di peringkat global al-Afghani memperjuangkan persefahaman antara agama terutama penganut rumpun agama Musa, Isa dan Muhammad yang pada hakikatnya sama dari segi teras ajarannya. Di peringkat nasional al-Afghani memperjuangkan perpaduan seluruh warganegara tanpa mengira agama.
Gagasan Pan-Islamisme al-Afghani tidak didasarkan perkiraan pragmatis semata-mata. Ia mempunyai asas doktrinal kukuh iaitu ikatan persaudaraan seagama. Semangat kesatuan ummatik keagamaan ini ditekankan begitu rupa sebagai suatu usaha membendung perkembangan nasionalisme yang diinspirasikan Barat, sejenis nasionalisme sekular berasaskan budaya, sejarah dan bahasa; dengan meremehkan asas keagamaan (Sharabi, H, 1970: 48).
Bagaimanapun dengan asas Pan-Islamismenya itu, al-Afghani tidak pula menafikan asas kesatuan lain yang sifatnya tabii seperti bangsa dan bahasa. Proses perkembangan pemikiran al-Afghani dari tahap ke tahap akhirnya sampai kepada pengharmonian di antara semangat persaudaraan Islam dengan nasionalisme yang sihat. Menurut al-Afghani manusia memang selamanya berlegar dalam lingkaran tiga bingkai dengan urutan berikut:
1. Lingkaran bingkai bangsanya;
2. Lingkaran bingkai agama anutannya; dan
3. Lingkaran bingkai kemanusiaan (jenis makhluk yang ia menjadi warganya).
Dengan meletakkan nasionalisme (semangat kebangsaan) dalam dua lingkaran yang lebih besar, ia selamanya terkawal dalam batas keagamaan dan kemanusiaan. Atas asas itu al-Afghani dapat menerima kewujudan negara nasional yang tergabung dalam bingkai induk Pan-Islamisme (Muhammad lmarah, 165).
Dengan asas pemikiran semangat kebangsaan sihat itu suatu yang fitri dan oleh itu ia tidak bertentangan dengan Islam, al-Afghani mempertahankan Arabisme (‘urubah) dalam erti ciri khas keunggulan bangsa Arab.
Ini dinyatakannya ketika mendebat Ernast Renan yang mendakwa mentaliti Arab secara tabii memang tidak berpotensi dalam bidang ilmu dan falsafah. Al-Afghani membuktikan keunggulan bangsa Arab dengan merujuk kegemilangan tamadun ilmunya yang meratai seluruh daerah yang dikuasainya, lalu menjalar hingga ke Eropah.
Di Mesir Jamal al-Din mempelopori gerakan kebangsaan dengan menubuhkan al-Hizb al-Wataniy (Parti Tanah Air) yang berslogan al-Misr li al-Misr li al-Misriyyin (Mesir untuk rakyat Mesir). Memang ia amat mencintai bumi Mesir yang disifatkannya pintu al-Haramyn. Dengan catatan itu tampak sikapnya terhadap patriotisme. Memang al-Afghani bersemangat patriotik dan sekali gus mempertahankan patriotisme yang sihat; patriotisme dalam erti semangat cintakan tanah air yang terkawal dalam bingkai keagamaan dan kemanusiaan. Patriotisme dengan takrif yang demikian itu, dibezakannya daripada patriotisme sempit yang fanatik terhadap sesuatu daerah atau sesuatu bangsa sehingga tidak mempedulikan untung nasib daerah dan bangsa lain.
Al-Afghani melihat patriotisme keagamaan dan kemanusiaan itu sebagai kekuatan penting terutama dalam menghadapi penjajahan. Kerana itu pulalah Jamal al-Din menganjurkan pendidikan patriotik yang berteraskan pemupukan semangat cintakan tanahair (Muhammad ‘Imarah, 167 – 168).
Demikianlah nasionalisme dan patriotisme versi al-Afghani mengalami transformasi konseptual sehingga senada dengan agama. Memang nasionalisme tidak mempunyai takrif baku dan beku. Ia sentiasa mengalami perubahan erti dan isi mengikut perubahan sejarah dan daerah. Dalam era kolonial, nasionalisme Asia rata-rata bererti dan berintikan perjuangan menentang penjajahan. Dengan demikian kepeloporan al-Afghani dalam kebangkitan nasionalisme Asia adalah fakta yang tidak dapat diingkari
4. Pandangannya mengenai Etika
Pandangannya ini terlihat dari kritiknya terhadap materialisme. Baginya materialis mencoba untuk meruntuhkan pondasi pokok masyarakat manusia. Mereka berusaha merusak ‘Benteng kebahagiaan” bangunan masyarakat yang ditopang atas enam pillar agama.
Tiga pillar merupakan kepercayaan dan tiga lainnya merupakan kualitas sifat-sifat. Tiga kepercayaan itu adalah pertama bahawa manusia merupakan khalifah Tuhan di muka bumi, kedua kepercayaan bahwa komunitas seseorang merupakan yang paling mulia baik dalam rasa memiliki dunia manusia melawan kerajaan binatang dan tumbuhan maupun rasa memiliki sebagai manusia terbaik dan masyarakat agamis. Ketiga percaya ajaran –ajaran agama menentukan agar manusia mampu mencapai dunia tertinggi. Pembawaan lahirnya memungkinkan mentransendensikan kesemataan materi dan menyadari realita spiritual yang ada di dalam.
Agama menanamkan tiga kualitas etika bagi para pengikutnya.Pertama apa yang oleh Afghani disebut sebagai “modesty” (haya’) ,yang merupakan rasa malu untuk berbuat dosa terhadap Tuhan maupun manusia. Kemulian jiwa itu berkembang sesuai dengan tingkat haya’nya. Afghani menyadari bahwa kualitas etika ini merupakan bagian mendasar bagi keteraturan etis dan social masyarakat. Kedua adalah amanah ( dapat dipercaya) yang mendasari bagi struktur masyarakat.
Kelestarian peradaban manusia tergantung pada saling respek dan kepercayaan, yang tanpanya niscaya suatu masyarakat tidak akan dapat meraih kestabilan politik maupun kemakmuran ekonomi. Ketiga siafat yang disebarkan oleh agama adalah keterusterangan dan kejujuran ,myang bagi Afghani merupakan dasar kehidupan social dan kesetiakawanan (solidaritas).
Lewat enam pilar ini Afghani mendasarkan agama sebagai pondasi pembentukan peradaban dan menyatakan materialisme sebagai musuh agama dan masyarakat.
Karya Karyanya
1.Al-Ta’liqat ‘ala sharh al-Dawwani li’l-‘aqa’id al-‘adudiyyah (Cairo, 1968). Afghani’s glosses over Dawwani’s commentary on the famous kalam book of ’Adud al-Din al-‘Iji called al-‘aqa’id al-‘adudiyyah.
2.Risalat al-waridat fi sirr al-tajalliyat (Cairo, 1968). A work dictated by Afghani to his student M. ‘Abduh when he was in Egypt.
3.Tatimmat al-bayan (Cairo, 1879). A political, social and cultural history of Afghanistan.
4.Hakikat-i Madhhab-i Naychari wa Bayan-i Hal-i Naychariyan. First published in Haydarabad-Deccan, 1298/1881, this is Afghani’s most important intellectual work that he published during his lifetime. It is a scathing criticism and total rejection of naturalism which Afghani also calls ‘materialism’. The book has been translated into Arabic by M. ‘Abduh as al-Radd ‘ala al-dahriyyin (The Refutation of the Materialists).
5.Khatirat Jamal al-Din al-Afghani al-Husayni (Beirut, 1931). A book compiled by the Lebanese journalist Muhammad Pasha al-Mahzumi. Mahzumi was present in most of Afghani’s talks in the last part of his life and developed his conversations in to the present book. The book contains important information about Afghani’s life and ideas.
Implikasi Pemikiran al Afghani
Dalam lingkungan Islam, al-Afghani menduduki tempat istimewa dalam deretan zu’ama’ al-islah, pelopor gerakan islah. Gagasan Islah al-Afghani tidak cuma berlegar di permukaan, tetapi menyentuh dasar kehidupan umat hingga ke dimensi paling dalam, iaitu islah al-uqul wa al-nufus, reformasi jiwa dan minda. Sesudah itu disusul pula dengan islah al-hukumah, reformasi politik-pemerintahan (Ahmad Amin, 1948: 59). Reformasi gaya Afghani adalah islah dalam pengertian kembali kepada keaslian dan kemurnian agama dengan ruang liputannya yang mencakupi bidang agama, sosial dan politik. Umat Islam ketika itu memang memerlukan reformasi besar-besaran. Bagi Afghani gerakan reformasi umat harus berpangkal daripada reformasi keagamaan
Karir Afghani sebagai pemikir dan aktifis sungguh mempunyai pengaruh dalam terhadap dunia Islam dan terus berlangsung hingga saat ini sebagai sumber inspirasi maupun kontroversinya. Proyek modern Islam Afghani dikembangkan lewat kuliah-kuliah, politik dan esay pendeknya serta dalam kolom – kolom koran, didasarkan pada ide mencari suatu modus vivendi antara tradisi budaya Islam dan tantangan filsafat serta sain modern barat. Tidaklah salah mengatakan bahwa Afghani mengambil posisi tengah antara pengikut westernisasi buta dengan sepenuhnya menolak barat oleh “ulama” tradisional. Pemikiran afghani banyak ditiru aktifis dan pemikir saat itu bahwa sains dan teknologi barat dapat ditiru oleh dunia Islam tanpa harus mengambil konsekuensi teologi maupun filosofi yang membahayakan dalam penerapannya oleh barat tersebut.
Program politik Pan Islam (ittihad- Islam) Afghani telah mampu memobilisasi kaum muslim untuk berjuang melawan imperialisme barat dan agar dapat memperoleh kekuatan militer lewat teknologi modern.Seruan Afghani untuk memerdekakan bagi setiap negara/bangsa muslim merupakan factor kunci pengembangan “nasionalisme Islam” dan memberikan pengaruh bagi beberapa figure muslim semacam Muhammad Iqbal, Muhammad Ali Jinnah dan Abul Kalam Azad di anak benua India. Dan Namik Kemal, Said Nursi dan Mehmet Akif Ersoy di Turki Usmani. Akhirnya pada abad 20, Afghani merupakan sumber utama inspirasi bagi gerakan revivalisme seperti Muslim Brethen di Mesir dan jama’at Islami di Pakistan. Afghani juga memberikan pengaruh mendalam bagi beberapa pemikir Mesir termasuk Muhammad Abduh, Rashid Rida, ‘Ali ‘Abd al Razik, Qasim Amin, Lutfi al Sayyid dan Osman Amin.
Dalam konteks ini kebangkitan nasionalisme Melayu moden sebenarnya terkait dengan gerakan islah Jamal al-Din al-Afghani. Awal abad ke-20 dalam sejarah umat Melayu dicatat sebagai era yang bergelora dengan gerakan pembaharuan ‘Kaum Muda’ membedah penyakit umat dan mengangkat martabat mereka dengan anjuran kembali kepada kemurnian dan keaslian Islam, mencerdaskan pemikiran menerusi amalan ijtihad dan penolakan taklid. Gerakan reformasi keagamaan yang diilhami pemikiran islah Afghani-’Abduh-Ridha itu kemudiannya diangkat oleh sarjana sebagai tahap awal (tahap keagamaan) kebangkitan nasionalisme Melayu moden.
Al Afghani dengan sengaja menggunakan berbagai argument dalam berbagai kondisi yang berbeda untuk mendorong keragman penafsiran-penafsiran. Warisannya tentang penafsiran ulang Islam dalam bingkai modernis, pragamtis, langsung anti – imperialis dan aktivitas politiknya merupakan hal yang sangat penting bagi dunia muslim modern.
Apapun kenyataan dan kontroversial biografinya seseorang tidak dapat memungkirinya sumbangan dan pentingnya al Afghani bagi pemikiran modern dunia Islam maupun even-even penting lainnya. Bagi beberapa penulis misalnya John L Esposito13 atau Aziz al Azmeh14 atau Husayn Ahmad Amin15 Ia sesungguhnya bukanlah seorang intelektual yang menulis berkelebihan atau yang ingin bekerja keras dengan system teori yang komplek. Ia lebih merupakan seorang yang mencomot, mengkombinasikan dan mengembangkan sejumlah tema-tema yang sudah ada sehingga menjadi keseluruhan kisah. Ia bukan pula sebagai pemikir besar, tapi –letak kebesarannya saya kira- ia merupakan pembicara yang potensial dan seorang konspirator yang penuh karisma, serta memiliki kepribadian yang mampu mengobarkan dan membangkitkan semangat dunia Islam.
Ia tidak mengeluarkan pemikian baru, ia tidak meninggalkan tulisan yang bernilai tinggi dalam bidang agama atau filsafat miski ia menguasai kedua bidang ini. Berikut ini beberapa point penting aktifitas al Afghani yang dapat diidentifikasikan.
Dari filsafat Islam tradisional al Afghani menggambar suatu kepercayaan pada akal sehat dan hukum alam, dan ketuhanan yang tidak bertentangan dengan hal-hal ini. Latar belakang filsafat muslim, dengan baik didokumentasikan dalam teks-teks yang ditandai untuk pengajarannya di Mesir, mengijinkan al Afghani untuk memberikan pengajaran modernnya sebuah dasar keislaman.
Penutup
Al Afghani bukan yang mula-mula, ia juga sesungguhnya, bukanlah pemikir besar, filsuf atau apapun, namun ia lebih merupakan inspirator bagi muslim lainnya untuk terus berkiprah membebaskan diri dari cengkeraman imperialisme Barat. Tulisannya mengilhami dan mendorong orang untuk bertindak, ucapannya membuat orang bersemangat, gerakannya menjadi anutan bagi banyak orang. Semangatnya menjadi obor bagi lainnya. Ia lebih merupakan tokoh gerakan. Wallahu A’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Syafi’I Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung, Mizan, 1993, hal. 84
Aziz Al-Azmeh, Islams and Modernities, London: Verso, 1993
Husayn Ahmad Amin,Seratus tokoh dalam Sejarah Islam, Jakarta:Remaja Rosdakarya, 2001
H. Mukti Ali . Alam Pemikiran Modern di India dan Pakistan, Bandung, Mizan
Ensiklopedi Islam,.
John L. Esposito, Encyclopedia Islam
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Semoga bermanfaat, amin
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !